Sore itu, Datuk (80) duduk di depan toko buku miliknya di kawasan Pasar Buku Palasari Bandung. Sesekali dia menawarkan dagangannya kepada para pengunjung.
. Sehari-hari Datuk ditemani istrinya berjualan. Saban hari dia mulai membuka tokonya mulai dari pukul 08.00-17.00 WIB.
Karena usianya yang tak muda lagi, Datuk jarang menawarkan langsung dagangan bukunya kepada pembeli seperti pedagang lain yang masih bersuara lantang untuk mempromosikan juga kesana-kemari mencari buku incaran pelanggan. Datuk lebih banyak menunggu dan baru akan mencari-cari buku jika ada yang langsung bertanya kepadanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Datuk berjualan buku bahkan sejak sebelum Pasar Buku Palasari didirikan. Sebelumnya, dia berjualan buku di sekitar Jalan Cikapundung, Kota Bandung. Namun, Pemerintah Kota Bandung saat itu merelokasi 20 pedagang buku kaki lima termasuk Datuk guna merapikan tata kota.
Awal mula dipindahkan dari Jalan Cikapundung ke Palasari Datuk mengaku mengalami penurunan dalam penjualan. Namun, semakin lama, Pasar Buku Palasari berkembang dengan baik sebagai tempat langganan para pecinta buku dan para pelajar yang menyambut tahun ajaran baru.
"Tahun 1982, 1983, 1984 itu paling top lah Palasari ini, di atas tahun 1982" Kata Datuk, kepada detikJabar belum lama ini.
Dalam ingatannya, ia mengatakan jika sekitar awal tahun 2000 an, pasar Palasari masih ramai dikunjungi. Pasar buku ini muncul sejak tahun 1960-an yang awalnya adalah berupa pasar yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari.
Kemudian, lewat program Instruksi Presiden (Inpres), pada 1977 didirikan bangunan dua lantai. Para pedagang perintis menempati lantai bawah. Pasar Buku Palasari menjadi termahsyurkan saat itu, sebelum peristiwa kebakaran besar yang melanda pada awal Januari tahun 1993 dan api melalap habis bagunan dua lantai itu disertai ribuan buku-buku dagangan para penjual.
Tidak berhenti di situ, kebakaran kembali melanda 24 Agustus 2007, kobaran api menghanguskan 67 kios pedagang. Selanjutnya, Datuk mengungkapkan puncak penurunan penjualan ialah ketika pandemi COVID-19.
Situasi itu membuat penjualannya anjlok. Bahkan kebiasaan masyarakat mulai beralih yang awalnya membeli secara langsung kini beralih melalui online.
"Menurun pisan (pelanggan), lebih dari tujuh puluh lima persen, jadi yang belanjanya hanya sedikit. Banyak yang udah tutup, banyak yang nggak dapat duit gara-gara dulu pernah Corona (COVID-19), ditambah sekarang yang online, jadi dapat uangnya hanya sekedar untuk makan saja," terang Datuk.
Datuk sempat berpaya berjualan secara online, namun tak ada perubahan yang berarti. Pesaingnya para toko besar yang memiliki koleksi buku lebih lengkap bahkan penerbit pun ikut turun dalam sistem tersebut. Menghidupi keluarga dari berjualan buku di toko kecil sudah tidak bisa lagi diandalkan.
Datuk bahkan sudah tak bisa mengharapkan apapun, ia pesimis dengan persaingan penjualan buku saat ini terutama di pasar online. Dia juga menyebut jika digitalisasi mempermudah seseorang untuk mendapatkan beragam informasi dengan mudah dan murah, buku fisik mulai banyak ditinggalkan.
(iqk/iqk)