Darurat Sampah di 'Surga Pembuangan'

Darurat Sampah di 'Surga Pembuangan'

Sudirman Wamad - detikJabar
Sabtu, 14 Okt 2023 18:04 WIB
Kendaraan melintas di samping TPS Gudang Selatan, Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023). Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencatat, sebanyak 25 ribu ton sampah di Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat masih menumpuk di TPS dan sejumlah titik lainnya akibat area utama TPA Sarimukti masih terbakar. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Sampah Menumpuk di Bandung Imbas TPA Sarimukti Terbakar. Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI
Bandung -

Sampah menjadi masalah besar bagi Kota Bandung. Status darurat sampah menjadi buktinya. Pemkot Bandung tengah meracik strategi untuk mengurai persoalan sampah.

Kota Bandung telah berusia 213 tahun pada 25 September 2023. Sejarah Bandung memang tak lepas dari perkembangan perkebunan kopi. Dulunya, Bandung hanya wilayah yang dihuni segelintir rumah. Mengutip data Badan Pusat Status (BPS) dalam laporan Kota Bandung Dalam Angka 2023, Bandung kini dihuni 2.461.600. Dan, tentunya segudang masalah, salah satunya sampah.

Memgutip dari jurnal Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung yang disusun Nandang Rusnandar yang berjudul 'Sejarah Kota Bandung "Bergedessa" (Desa Udik) Menjadi Bandung "Heurin Ku Tangtung" Metropolitan, yang terbit di Pantajala Vol 2 No 2 Tahun 2010, mengupas perkembangan Bandung dari masa ke masa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tahun 1641, seorang Mardijker bernama Julian de Silva melaporkan yang tertuang dalam dagregister --catatan harian--. Julian menyatakan ungkapan "Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 'a 30 huysen.....". Ungkapan itu memiliki arti ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah.

Asumsinya, jika satu rumah berisi empat anggota keluarga, maka dari 25 sampai 30 rumah itu diperkirakan jumlah penduduk Bandong berkisar 120 jiwa. Diduga semuanya orang Sunda.

ADVERTISEMENT

"Itulah penduduk yang menempati Kota Bandung, sebagai cikal bakal Kota Bandung dewasa ini," tulis Nandang dalam jurnal penelitiannya.

Bandung pada abad 17 itu hanya mengenal tatar ukur. Wilayah Tatar Ukur dikepalai seorang penguasa bernama Wangsanata atau lebih dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, seperti dikutip jurnal tersebut dalam buku Haryoto Kunto berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia:1984).

Kemudian, seabad kemudian, Nandang menuliskan pada tahun 1741, Belanda menempatkan seorang tentara bernama Arie Top yang berpangkat kopral. Arie Top menyandang jabatan sebagai plaatselijk militair commandant (komandan militer yang menetap di suatu daerah), pangkat ini sekarang mungkin setingkat Babinsa.

Setahun kemudian setelah kedatangan Arie Top ini, pada 1742, penduduk wilayah Bandung kedatangan dua orang warga Eropa yaitu Ronde dan Jan Gesybergen, adik dan kakak. Total tiga orang, satunya adalah buangan dari Batavia yang berpangkat Kopral.

Ketiga orang inilah kemudian membangun Bandung dengan jalan membuka hutan dan sukses membuat perusahaan penggergajian. Oleh sebab, julukan 'Paradise in Exile' (surga dalam pembuangan) ini lahir karena tempat yang awalnya hanya jadi tempat pembuangan orang, ternyata menyimpan potensi yang luar biasa.

Bandung pada pertengahan abad ke-18 itu masih berupa hutan rimba, di sana-sini masih tersisa genangan air sisa-sisa dari danau purba, sehingga masih banyak situ tersebar di sekitar Bandung dan selebihnya masih berupa ranca (rawa-rawa).

Belanda menjadikan tempat pembuangan bagi soldadu atau pegawai pemerintahan yang membuat kesalahan, karena Bandung dianggap 'neraka', dengan hutan rimba yang menyeramkan. Nandang dalam jurnalnya menuliskan, istilah dalam bahasa Sunda untuk menggambarkan keadaan rimba belantara Bandung itu dengan sebutan top maung top badak (siap dimakan harimau dan badak).

Darurat Sampah di Surga Pembuangan

Kini, Bandung bertransformasi menjadi metropolitan dengan segudang masalahnya. Kota yang dulunya berjuluk Surga Pembuangan ini pernah berlabel 'Lautan Sampah'. Tahun 2005, Bandung pernah mendapatkan julukan 'Bandung Lautan Sampah'. Abidin (59) salah seorang pemulung yang masih mengingat peristiwa Bandung Lautan Sampah.

Kala itu, gunungan sampah menguasai Kota Bandung. Lautan sampah di Kota Bandung disebabkan karena TPA Leuwigajah di Kota Cimahi yang meledak dan longsor. Akibatnya, TPA itu ditutup. Pembuangan sampah dari Bandung Raya yang bergantung ke sana pun mandek.

Sejak tahun 1982, Abidin sudah berprofesi sebagai pemulung dan pengurus sampah di TPS Turangga (Buahbatu). Namun, baru kali itu ia mengurus gunungan sampah yang membubung semakin tinggi setiap harinya.

"Waktu Leuwigajah meletus, itu ngeri ya tumpukan sampahnya itu tinggi. Numpuk terus, sampai jalan meski nggak sampai ketutup sih jalannya alhamdulillah. Dari pemkot minimal dua mobil masuk buat ngangkut, dulu juga belum ada gudang di dekatnya. Nah lahan kosong itu jadi tempat sampahnya, lebih luas dan muat banyak sampah. Nggak sampai nutup jalan," katanya di TPS Turangga, belum lama ini.

Nyatanya, tragedi Leuwigajah tak membuat pemkot berbenah. Kondisi serupa juga terjadi pada tahun ini gegara TPA Sarimukti terbakar. Pemprov Jabar menetapkan Bandung Raya darurat sampah pada 24 Agustus 2023 hingga 25 September 2023. Kemudian diperpanjang hingga 25 Oktober 2023. Pengangkutan sampah di TPS ke TPA Sarimukti pun terganggu. Imbasnya sampah menumpuk di TPS. Kondisi demikian berdampak pada warga yang hidup di sekitar TPS, seperti yang dirasakan Santi (25) yang tinggal di sekitar TPS Cibeunying, Jalan Bengawan, Kota Bandung.

Pada akhir September lalu, keluarga Santi terkena penyakit gegara tumpukan sampah yang tak kunjung diangkut. Anaknya yang berusia 1,5 tahun sempat mengidap diare. "Kemarin sempat sakit, panas, sekarang batuk pilek dan sempat diare juga dua hari langsung dibawa ke dokter," kata Santi belum lama ini.

Selain penyakit, sampah juga mengganggu kehidupan Santi. Belatung hingga lalat menginvasi rumahnya. Santi pun harus mengakali agar belatung tidak masuk dengan menabur gula pasir di depan pintu masuk rumah.

"Lalat masuk ke rumah, belatung juga masuk, makanya dikasih gula di pinggir-pinggir itu kalau enggak masuk semua belatung itu," ucap pedagang nasi itu.

"Ini juga kalau tidur siang-siang itu hawanya panas ya kayak ada api di bawah kasur, mungkin karena sampah ini kan panas yah. Itu pas menumpuk kerasa banget kalau tidur siang panas kaya ada bara," ucapnya menambahkan.

Tumpukan sampah juga membuat Santi kehilangan pemasukan. Jualannya terganggu. Imbasnya, ekonomi keluarga pun goyah. Santi sempat tak berjualan nasi dalam beberapa pekan karena sampah yang menumpuk. Belum lagi, suaminya yang juga bekerja mengangkut sampah harus diam diri di rumah karena tidak bisa lagi mengangkut sampah.

Santi mengungkapkan, sampah di TPS Cibeunying sudah dibersihkan dan diangkut. Ia pun berharap pemerintah bisa mencari solusi soal penanganan sampah.

Sekadar diketahui, mengutip data dari Kota Bandung dalam Angka 2023, jumlah produksi sampah di Kota Bandung mencapai 1.594 meter kubik per hari. Dari total itu, sebesar 710 meter kubik di antaranya merupakan sampah sisa makanan dan daun atau organik. Sementara itu, sampah plastik mencapai 266 meter kubik per hari.

Penambahan Anggaran

Pemkot Bandung tengah merancang strategi untuk mengurai permasalahan sampah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Dudy Prayudi mengatakan, Pemkot Bandung telah menerbitkan Instruksi Wali Kota (Inwal) pada 27 September 2023 tentang pengolahan sampah secara mandiri di lingkungan kantor pemerintahan. Selain itu, Pemkot Bandung juga menerbitkan surat edaran tentang pengelolaan sampah secara mandiri bagi pelaku usaha.

"Jadi, hanya residu yang boleh ke TPS. Dengan dua strategi ini mudah-mudahan kita bisa keluar dari masa kedaruratan sampah ini," kata Dudy kepada detikJabar, Jumat (13/10/2023).

Dudy juga mengatakan dari 1.597 RW di Kota Bandung, sekitar 272 RW sudah menerapkan pengelolaan sampah secara mandiri. Sampah organik dimanfaatkan kembali oleh warga, dan hanya residu yang dibuang ke TPS.

"Baru 272 RW yang sudah kawasan bebas sampah. Memang masih jauh, ya baru 17 persenan. Tugas kita meningkatkan RW-RW agar jadi kawasan bebas sampah," katanya.

Selain itu, Pemkot Bandung juga berencana untuk menambah mesin gibrig versi biomass. Dudy menyebut dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) telah disepakati agar adanya penambahan mesin gibrig melalui APBD murni tahun 2024.

"10 unit buat TPST. Menggunakan mesin gibrig versi biomass. Dan, kemudian juga dari PUPR, ada dua atau tiga TPST di tahun depan beroperasi. Ketiganya itu, TPST CIcukang Holis yang sekarang di-uprade, TPTS Nyengseret dalam proses pembangunan, dan TPST Taman Tegallega masih pembangunan," ucap Dudy.

"Total mungkin dengan kehadiran tiga TPST dari PUPR itu bisa 100 ton (sampah) per hari lebih bisa kita olah menjadi RDF (Refuse Derived Fuel). Kalau sekarang baru satu di Cicukang Holis, itu baru 10 ton yang diolah jadi RDF (per hari)," kata Dudy menambahkan.

Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung Iman Lestariyono mendukung adanya penambahan anggaran untuk pengelolaan sampah pada tahun depan. Menurut Iman, berdasarkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) anggaran untuk DLHK sekitar Rp 200 miliar. Selain itu, DLHK juga ditopang Belanja Tak Terduga (BTT) untuk pengelolaan sampah selama masa darurat mencapai Rp 30 miliar.

"APBD murni belum ketok palu, masih pembahasan. Kita pasti semua sepakat darurat sampah harus ditangani secara maksimal. Harus jadi momentum bersama dari hulu dan hilir, nggak mungkin kalau dengan cara biasa. Anggaran hingga fasilitasnya harus disiapkan," ucap Iman.

Solusi Palsu

Rupanya, solusi yang dirancang Pemkot Bandung itu dianggap palsu oleh Walhi Jabar. Walhi menolak tentang pengembangan konsep pengelolaan sampah melalui pendekatan PLTSa dan RDF. "Itu kami tidak mengamini. Tidak setuju dengan konsep itu," ucap Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin kepada detikaJabar.

"Itu solusi palsu. Kenapa kami bilang solusi palsu RDF ini, karena memunculkan masalah. Baik pencemaran terhadap kualitas udara, maupun juga residu proses pembakarannya juga menyebabkan masalah baru juga," kata Wahyudin menambahkan.

Wahyudin mengatakan RDF sejatinya diproyeksikan untuk covering PLTU yang ekstraktif dan semen. Menurut Wahyudin, pengelolaan sampah yang efektif melalui reduce, reuse dan recycle (3R), atau mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang sampah.

"Pemilahan sampah di rumah masing-masing adalah yang efektif, dan tidak memunculkan residu. kedua juga jangan sampai proporsi anggaran karena sedang viral darurat sampah, itu ditingkatkan dengan konsep tadi (RDF)," kata Wahyudin.

"Kami tidak juga menyetujui soal penambahan anggaran pengelolaan sampah dengan pendekatan konsep tadi, terlepas dari dukungan kementerian hingga lembaga keuangan internasional," ucap Wahyudin menambahkan.

Wahyudin menjelaskan anggaran pengelolaan sampah harusnya digelontorkan untuk penguatan fasilitas di lingkungan RT atau RW, utamanya untuk menguatkan pola 3R. "Jadi, mana yang bisa dimanfaatkan pemulung, mana sampah yang bisa dimanfaatkan salah satunya organik untuk kebutuhan magot, dan mana yang harus dikembalikan ke produsen," tuturnya.

"Karena harus ada penekanan pemerintah kepada produsen, mereka harus tanggung jawab pada produk-produk kemasan yang diproduksi mereka. Proporsi anggarannya ke situ," kata Wahyudin menambahkan.

Momentum Tahun Politik

Walhi Jabar tak hanya merespons soal darurat sampah yang terjadi di Bandung saat ini. Rencananya, Walhi Jabar juga membuat agenda yang melibatkan para kandidat di Pemilu 2024.

"Kita akan melakukan refleksi dan konsolidasi pada pekan depan, tepatnya saat Hari Ulang Tahun Walhi Jabar. Kita merespons kerusakan lingkungan saat ini dan ke depan, selain pemerintah yang menjabat, kami juga mendesak pada para kandidat yang berkontestasi di tahun politik," kata Wahyudin.

Wahyudin menyebut saat ini sejumlah kandidat yang bakal maju belum menyuarakan soal isu lingkungan, termasuk di Jabar maupun Bandung Raya. "Beberpa calon yang muncul, meskipun belum jelas atau definitif, kami belum dengar respons mereka terhadap isu lingkungan, belum kami dengar," katanya.

"Mau tidak mau kami membuat sikap, termasuk kajian dari perspektif atau refleksi ini yang nantinya kami sampaikan ke kandidat," ucap Wahyudin menambahkan.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan isu lingkungan belum menjadi prioritas di tahun politik. Menurutnya, dalam berbagai kajian menyebutkan aktor politik lebih mengikuti opini publik, salah satu yang paling disorot adalah soal ekonomi.

"Jadi, kalau tidak ngomong soal ekonomi, ya tidak laku. Ini kan soal pertarungan konkret. Kalau menurut saya harus dorong (isu lingkungan)," katanya saat menjadi pembicara di pelatihan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) di Kota Bandung, Rabu (27/9/2023).

"Bicara isu lingkungan harus mulai menjadi bagian penting. Ekonomi sudah selesai harusnya, karena itu (isu ekonomi) tetap akan dihitung, dievaluasi orang pastinya. Karena, evaluasi itu pasti melihat kinerja ekonomi," ucap Firman Manan menambahkan.

Menurut Firmanan Manan, isu lingkungan sejatinya bisa menjadi bagian dari aspek ekonomi. Sebab, lanjut dia, ketika kualitas lingkungan baik, maka aspek ekonomi pun tumbuh.

"Memang betul partai politik tidak bekerja sendiri, isu lingkungan itu kompleks, merumuskan agenda tidak mudah, partai politik dituntut bicara banyak hal. Kehadiran civil society itu penting. Karena membantu dan bisa berbicara bersama. Jadi, ada titik di mana memang kolaborasi itu penting," tuturnya.

(sud/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads