Abah Wanta terlihat semringah melihat kedatangan detikJabar. Laki-laki yang genap berusia 70 tahun itu dulunya dikenal sebagai pelaku ritual, seni dan adat tradisi nelayan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Ia bercerita, dulu kerap menjadi langganan media untuk dijadikan narasumber soal adat dan tradisi nelayan. Ia menyebut sejumlah nama jurnalis di media televisi yang sering datang ke rumahnya.
"Dulu ada dari TV, dari koran sampai wartawan luar negeri sering datang wawancara, mereka tertarik dengan hari nelayan dengan tradisi nelayan. Karena kalau dulu itu semuanya dipakai, nilai sakralnya terasa," kata Abah Wanta kepada detikJabar di kediamannya, Kampung Cipatuguran, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jumat (22/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abah Wanta adalah salah seorang inisiator sekaligus konseptor hari nelayan di Palabuhanratu bersama sejumlah tokoh lainnya. Berkat Wanta dan rekan-rekannya, hari nelayan menjadi tradisi tiap tahun di Palabuhanratu.
Wanta mengernyit, mengingat-ingat salah seorang tokoh lain yang mengkonsep hari nelayan. Nama R.H Oetom Boestomi, tokoh yang berjasa mengadakan hari nelayan yang sekarang diperingati tiap tahun.
"Sekarang sudah almarhum, Pak Oetoem ini ketua, kokolot nelayan. Sampai adanya hari nelayan dibuat beliau konseptornya, dulu itu semua nelayan guyub ketika ada peringatan itu dari Ujunggenteng, Cisolok, dari mana-mana ikut bergabung bahkan dari Binuangeun, Banten juga datang memeriahkan," ungkapnya.
Dijelaskan Wanta, berbicara nelayan erat kaitannya dengan kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari luar daerah yang hingga kini menetap di Palabuhanratu. Nelayan ini memiliki keragaman tradisi yang berbeda. Wanta sendiri merupakan keturunan Indramayu - Cirebon, hari nelayan menurutnya kerap dijadikan momen memperlihatkan tradisi dari masing-masing daerah.
"Yang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, saya sendiri Indramayu - Cirebon ada juga yang dari Bugis dari mana-mana ada. Kalau saya sendiri membawakan seni tari kuda lumping dengan rombongan, momen hari nelayan di Palabuhanratu saya kerap ikut meramaikan," tuturnya.
Namun di tahun 2014, Wanta dan ratusan nelayan Cipatuguran memutuskan memisahkan diri dari kegiatan hari nelayan di Palabuhanratu. Menurutnya, peringatan hari nelayan saat ini sudah jauh berbeda dengan hari nelayan dulu. Mereka kemudian membuat hari nelayan sendiri yang dirayakan bulan April setiap tahunnya.
"Sekarang sudah mulai dihilangkan tentu ada perbedaannya biarpun kita motong bebek, kambing harus dilakukan sebetulnya, sekarang mah kalau ikut Palabuhanratu diganti menjadi melepas tukik dan benur, makanya kami melakukan hari nelayan dengan tradisi, berpisah dari peringatan hari nelayan di Palabuhanratu," ungkapnya.
"Kalau tradisi memotong hewan itu bentuk rasa syukur, apa yang disediakan laut kita ungkap syukur kepada Allah SWT. Istilahnya memberi makan ikan setahun sekali, hasil dari laut kita ambil setiap hari. Kita gelar doa, kita lakukan ritual lebih dulu setiap mau perayaan hari nelayan agar selamat jauh dari marabahaya, meruat laut," sambungnya.
Menurut Wanta saat ini hal-hal seperti itu seperti disepelekan, perlahan mulai pudar adat dan kebiasaan seperti itu.
"Sekarang itu kadang-kadang disepelekan, bagaimana entar saja. Kalau kita menurut orang tua dulu enggak boleh, makanya banyak bala. Orang tua saya Pak Darji, pesan orang tua, walaupun orang Indramayu Cirebon, kamu itu sudah ada jalannya, untuk coba menjadi juru doa, cuma kamu yang dipilih kepada orang tua, melanjutkan tradisi," cerita Wanta.
Ia menyebut tidak hanya di hari nelayan, saat ini banyak tradisi yang hilang, salah satu contohnya ketika ada perahu baru yang akan diceburkan ke laut.
"Yang mulai hilang itu contohnya, seumpama kita mau bikin perahu sudah jadi harus kita syukuran, hadiahan, itu sekarang sudah enggak ada. Kalau keyakinan atau tradisi dahulu itu semua sesepuh nelayan kumpul dulu, hadiahan dulu sekarang tradisi itu disisihkan," lirih Wanta.
"Keyakinan orang tua dulu, kita meminta ke orang tuakan untuk keselamatan, turun ke laut selamat dan barokah jangan ada halangan jangan ada rintangan, tata kita pakai bahasa kita pakai, jalannya kita pakai. Ini jauh berbeda dengan orang tua dulu, kita mau ngadain ini disangka pak aki yang minta-minta begitu, padahal itu tradisi," tambahnya.
Wanta menyebut, ketika adat dan tradisi kental dijalankan maka akan memancing perhatian wisatawan. Ia menceritakan bagaimana keramaian wisatawan datang untuk sekadar menyerap tradisi yang dilakukan.
"Ketika di Kesatuan Adat Banten Kidul memuliakan alam, memuliakan padi ada lelaku ada tata cara nah kita yang di laut memuliakan laut dan seisinya berkah dari Allah SWT yang harus kita jaga bersama-sama dengan ikatan tradisi yang kuat," pungkasnya.
(sya/yum)










































