Presiden pertama Republik Indonesia banyak diabadikan menjadi sebuah nama jalan. Namanya pun sering ditulis dengan menggunakan ejaan lama atau ditulis Soekarno.
Seperti Jalan di Kabupaten Sumedang atau tepatnya jalan yang dimulai dari wilayah Jatinangor hingga ke perbatasan wilayah Kecamatan Tanjungsari. Jalan tersebut penghubung atau akses dari Kota Bandung menuju Majalengka Cirebon, Indramayu, Kuningan dan wilayah lain. Untuk jalan ini banyak yang menuliskannya sebagai Jalan Ir. Soekarno.
Jalan Ir. Soekarno di Sumedang ini konon lebih dulu ada dengan yang ada di Kota Bandung atau yang dulunya Jalan Cikapundung Timur atau kini menjadi Jalan Dr Ir Sukarno. Bedanya, jalan yang satu masih dengan ejaan lamanya, sementara jalan yang satu lagi dengan ejaan yang disempurnakan (EYD).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, sang proklamator sendiri telah menegaskan bahwa untuk penulisan namanya yang benar adalah Sukarno bukan Soekarno. Terdapat cuplikan yang memperlihatkan Sukarno berbincang dengan salah seorang wartawan Jerman pada tahun 1965.
Dalam perbincangan itu, ia menegaskan kepada wartawan Jerman itu bahwa namanya harus ditulis dengan ejaan "Su" bukan "Soe" atau ditulis dengan nama Sukarno.
Masih dalam tayangan video yang sama, di sana ditampilkan momen saat Sukarno yang tengah melakukan sesi wawancara dengan seorang jurnalis asal Amerika, Cindy Adams.
Dalam narasinya, sang proklamator saat itu tengah menjelaskan bahwa sejak Indonesia merdeka, ia menuliskan namanya dengan memakai ejaan Sukarno.
Namun dalam buku yang ditulis Cindy Adams yang berjudul Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia sebagaimana dalam tayangan video itu, ia (Sukarno) mengaku masih cukup kesulitan untuk mengubah tanda tangannya yang telah berusia 50 tahun. Ia pun masih menuliskan tanda tangannya tersebut dengan memakai ejaan "S-o- e".
![]() |
Pernyataan untuk penulisan nama Sukarno itu diperkuat dalam bukunya yang berjudul Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama, cetakan kedua pada tahun 1963. Buku ini memuat tulisan-tulisan Sukarno pada masa 1917 - 1925. Di sana tertera namanya ditulis sebagai IR. Sukarno.
Pengajar Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Mumuh Muhsin Zakaria mengatakan nama seseorang dalam kacamata sejarah sebaiknya disesuaikan dengan bagaimana sang pemilik nama itu menuliskan namanya sendiri.
"Kalau Bung Karno memang menulis namanya sudah 'u' (tidak dengan ejaan lama o-e) ya pakai ejaan u saja. Kalau yang bersangkutan (Sukarno) sudah memakai ejaan u bukan o-e," ungkap Mumuh kepada detikJabar.
![]() |
Mumuh melanjutkan, termasuk penulisan nama lainnya yang masih mempertahakan ejaan lama. Seperti untuk menuliskan bunyi 'j' dengan masih mempertahankan dengan ejaan "dj'.
Kendati demikian, kata Mumuh, hal itu kembali tergantung kepada sang pemilik nama. Sebab, ada beberapa faktor kenapa banyak yang masih mempertahankan namanya dengan ejaan lama yang salah satunya menyangkut soal dokumen identitas diri.
"Karena kadang-kadang pertimbangannya menyangkut soal dokumen resmi seperti akte kelahiran, surat nikah dan dokumen lainnya yang kalau nama itu diganti (ejaan yang disempurnakan), apalagi zaman sekarang, kalau diganti, nantinya sudah tidak akan terbaca di zaman yang serba sistem seperti sekarang ini," paparnya.
Muhsin menegaskan bahwa soal penamaan, pertama tergantung kepada sang pemillik nama bagaimana ia menuliskan namanya tersebut. Kemudian yang kedua menyangkut soal dokumen.
"Karena perubahan ejaan nama itu, apakah ada konsekuensi tidak kalau diubah kaitannya dengan dokumen (identitas diri)," terangnya.
(yum/yum)