Bela Islam, demikian kalimat yang terlontar dari pria bergelar Habib pemilik nama lengkap M Fahmi Assegaf itu saat ditanya keberadaan Yayasan Mahabbaturrosul miliknya. Yayasan lengkap dengan pondok pesantren dan lembaga pendidikan itu ia bangun dengan biaya dari hasil mengolah limbah kayu.
Rambutnya gondrong, sebuah kopiah putih menutup bagian atas kepalanya. Tangannya cekatan mengiris kayu tebal menggunakan gergaji listrik ukuran kecil. Ia menyulap limbah kayu pesisir itu menjadi karya seni.
Baca juga: Riuh Polemik Kegiatan Syiah di Bandung |
"Ini limbah kayu pantai dari pesisir Pantai Loji. Saya pilah, kemudian saya bawa berkarung-karung untuk dipilah lagi di sanggar atau bale kerajinan di dekat pondok. Semua dibuat langsung oleh saya, terkadang juga santri ikut. Jadi memang Mahabbaturrasul ini didanai dari hasil-hasil karya semuanya itu limbah kayu pantai," kata Habib Fahmi saat ditemui detikJabar belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Habib Fahmi mengatakan, keinginannya membuat lembaga pendidikan berawal dari keputusannya untuk tinggal di Kampung Batu Sapi, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi pada tahun 2016, lokasi yang kini terdapat yayasan miliknya.
"Semuanya berawal saat hati saya tersentuh, melihat masyarakat kurang mampu di tempat ini yang terabaikan oleh pemerintah, sampai akhirnya saya berusaha untuk mendirikan Mahabbaturrasul. Ketika sudah berdiri, untuk kelanjutannya saya kumpulkan dari hasil karya, baik itu limbah kayu pantai yang kami buat kerajinan," ungkapnya.
"Pada intinya kami merasa simpati dengan keadaan Kampung Batu Sapi. Ya, salah satunya kita boleh lihat lah pemandangan taman bermain, kita buat dengan sendiri ala kadarnya dengan keterbatasan. Kami bela Islam dengan cara kami, membangun pendidikan Islam, MDTA, Majelis Qur'an dan Pondok Pesantren," sambungnya.
![]() |
Ide Habib Fahmi membuat kerajinan bermula saat melihat lautan sampah kayu di Pantai Loji. Ia mengambil beberapa potong dan bawa ke pondoknya. Jiwa seni pria itu kemudian menggeliat, hingga limbah kayu itupun diolah dan menjadi benda bernilai rupiah.
"Dulu itu inisiatif, waktu kita melihat pantai itu banyak limbah kayu yang dibakar. (Setelah) diperhatikan, ini kalau dirakit atau dibentuk dengan keterampilan, insya Allah membawa berkah. Akhirnya bisa kita buat lampu hias, gantungan kunci, gantungan handuk, kemudian ukiran," ucapnya.
Ia mengaku masih terkendala pemasaran. Untungnya ada sejumlah pihak yang membantu. Ia menyebut selama ini dibantu tentara yang bertugas di Kodim Palabuhanratu yang kerap membantu memasarkan hasil karyanya.
"Saya minta tolong anggota TNI beliau anggota Kodim yang sering membantu menjual di Bogor di kawasan Puncak. Harapan kami seharusnya pemerintah bisa membantu membuatkan galeri untuk kami. Niat kami berkarya untuk memajukan agama dan memajukan kampung," jelasnya.
![]() |
Untuk karya seni limbah kayu yang dibuat, dalam satu hari bisa menghasilkan tiga buah kerajinan berbentuk lampu hias. Untuk ukiran bisa menghabiskan waktu sampai berhari-hari, tergantung dari kerumitan pola ukiran.
"Bahan kita semuanya limbah kayu pantai yang batangan kita ambil kita gesek, kalau enggak menggunakan gergaji listrik kemudian kita bentuk. Untuk satu kerajinan dihargai Rp 150 ribu sampai Rp 750 ribu, tergantung bentuk dan kesulitannya," kisahnya.
Seluruh hasil dari penjualan dari karya seni itu seluruhnya digunakan Habib Fahmi untuk membiaya roda pendidikan di yayasan miliknya. Pondok Pesantren dan MDTA semuanya dibiayai Fahmi dari kocek sendiri hasil penjualan karya seni buatannya.
"Kalau waktu tahun 2018 itu ada santri sebanyak 87 orang. Dari 2020 hingga terakhir ini kita cuman punya 41 murid di MDTA Mahabaturasul, santrinya 15 orang yang menetap. Tidak hanya biaya seragam sekolah, semuanya kita gratiskan. Kita ambil berkahnya, karena ini jalan bela Islam yang saya pilih," pungkasnya.
(sya/orb)