Problematika Pendampingan ABK di Sekolah Negeri Bandung

Problematika Pendampingan ABK di Sekolah Negeri Bandung

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Senin, 17 Jul 2023 23:00 WIB
Sekolah hari pertama di tahun ajaran baru 2023.
Sekolah hari pertama di tahun ajaran baru 2023. (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Tahun ajaran baru telah dimulai serentak di setiap sekolah. Namun beberapa polemik mewarnai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Salah satu permasalahan terjadi di SD Negeri 071 Sukagalih, Kota Bandung. Sekolah dengan luas kurang lebih 2.800 meter persegi ini baru saja menerima 112 anak didik baru.

Namun diungkapkan oleh Kepala SDN 071 Sukagalih Ulan Sumilan, jika tahun ini sekolahnya mendapat empat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sayangnya, tiga di antaranya menolak untuk melakukan asesmen sehingga menghambat pendampingan.

"Sebetulnya dari Disdik sudah cukup membantu dengan adanya asesmen. Tapi sayangnya masih ada orang tua yang tidak mau melaporkan kalau anaknya itu ABK, jadi mendaftar dengan jalur non-PDBK. Kemudian saat ditawarkan untuk dilakukan asesmen oleh Dinas Pendidikan (Disdik) pun ada yang tidak bersedia," kata Ulan ditemui Senin (17/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ulan juga menyampaikan kebimbangannya dengan sistem zonasi. Sebab ada salah satu ABK yang tidak lolos asesmen sehingga direkomendasikan untuk disekolahkan di tempat lain.

"Berdasarkan hasil asesmen, anak tersebut untuk merobek kertas saja belum bisa. Emosi anak tersebut juga kurang stabil. Tapi karena ekonomi keluarganya juga kekurangan, rumahnya dekat dari sekolah, sehingga orang tuanya tetap ingin sekolahkan anaknya di sini lewat jalur zonasi," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Hal tersebut menjadi dilema bagi pihak sekolah. Selain karena kurangnya komunikasi dari orang tua kepada sekolah, ia juga merasa sekolahnya tak punya sarana prasarana yang mumpuni. Seluruh guru SD saat ini diminta untuk mendampingi ABK, namun tak punya keahlian khusus.

Selain itu ia berkaca pada salah satu muridnya M Aldifi Tegarajasa, murid kebutuhan khusus Tunadaksa yang kini sudah duduk di kelas 6 SD. Tegar, begitu sapaannya, di sekolah harus menulis menggunakan kaki dengan cara menyatukan dua buah bangku.

"Ini kan kasihan anak-anaknya juga, seharusnya kan ada alat khusus untuk Tegar agar nyaman menulis, kemudian untuk anak-anak lain dengan kebutuhannya masing-masing ada pendampingan. Ada guru khusus dari Psikologi mungkin, di sini belum ada. Kami hanya diminta menerima ABK tapi pembekalannya hanya sekilas, itu tentu tidak bisa membantu praktik nyatanya," ucap Ulan.

Ditambah lagi diakui Ulin, ada beberapa orang tua yang seolah enggan menerima bahwa anaknya memang terlahir spesial. Sehingga pada akhirnya dipaksakan untuk bersekolah di sekolah biasa dan langsung memasrahkan pembelajaran pada guru.

"Bukan kami tidak ingin mendidik anak-anak tersebut, tapi kami menyadari betul kekurangan dari fasilitas inklusi di sekolah kami. Gurunya sedikit dan tidak ada yang betul-betul ahli mendampingi ABK. Jadi harapan kami jika ada kuota untuk siswa ABK, fasilitas pendidikan untuk mereka pun bisa ditunjang dengan baik," kata Ulan.

"Tapi untuk sekarang, yang bisa kami lakukan hanya menerima anak tersebut. Semoga ini merupakan ladang ibadah untuk guru-guru di sini. Kami berusaha keras dan semoga orang tua pun mau memberikan perhatiannya pada anak mereka," lanjut Ulan.

Saat ini yang bisa ia lakukan yakni pada MPLS di pekan kedua kembali diadakan asesmen dari Disdik Kota Bandung. Ini yang akan menentukan jumlah siswa ABK di sekolahnya.

"Saat ini, yang baru terdeteksi ada empat orang, dan yang telah diasesmen satu orang. Anak tersebut terindikasi mengidap autisme," tuturnya.

MPLS akan berjalan selama dua pekan. Pekan pertama diisi dengan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. Pekan dua digunakan untuk asesmen siswa agar terlihat kemampuan sosialnya.

"Nantinya akan terlihat sejauh mana anak bisa bersosialisasi dan mengikuti pelajaran di sekolah. Baru setelah itu asesmen kemampuan kognitifnya. Ini menjadi pegangan untuk guru, seperti apa cara pembelajaran yang akan diberlakukan," kata dia.

Menurutnya, perlu ada koordinasi yang lebih intensif antara pihak sekolah dengan dinas terkait. Apalagi dengan Kurikulum Merdeka saat ini, para guru dituntut untuk bisa mengelompokkan anak sesuai dengan kemampuan belajarnya.

"Anak kinestetik tentu berbeda cara belajarnya dengan anak audio. Berbeda lagi dengan anak visual. Para guru sudah dituntut harus bisa menyesuaikan dengan cara belajar siswa. Tapi sebetulnya pendampingan paling banyak itu kan ada di rumah, dari orang tua. Jadi jangan sampai yang ditekan itu guru SD-nya, kami sebetulnya sudah semaksimal mungkin tapi tentu harus ada bantuan dari orang tua juga," ucap Ulan.

(aau/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads