Polemik pondok pesantren Al-Zaytun di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat masih terus bergulir. Lantas apa tanggapan masyarakat yang berada di sekitar ponpes yang dipimpin Panji Gumilang tersebut.
detikJabar coba menyusuri perkampungan di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu yang merupakan daerah penyangga ponpes Al-Zaytun. Tidak sedikit warga yang masih memperbincangkan soal polemik pondok pesantren di kota mangga itu.
Salah satunya diungkapkan oleh Ongki (34), saat ditanya, pria itu mengaku keberadaan Al-Zaytun di Desa Mekarjaya tidak memiliki manfaat apapun. Diantaranya ia menyinggung soal jalan rusak di sekitar gerbang Utara Al-Zaytun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keberadaan Al-Zaytun menurut saya warga di sini mah itu gak ada manfaatnya ya buat warga sekitar. Ya lihat saja di pintu Utara yah jalannya kan begitu rusak udah bertahun-tahun. Gak tahu tuh apa karena ada gerbang Al-Zaytun, soalnya pas yang di Selatan juga dulu sama dibiarkan saja. Setelah pindah sekarang dibangun," ujar Ongki ditemui di blok BBT Desa Mekarjaya, Rabu (28/6/2023).
Diceritakan Ongki, bahwa sebelum mulai pembangunan sekira tahun 1991 lalu, area Al-Zaytun yang begitu luas itu diantaranya jadi tempat Ongki menggembala. Ia pun sempat mendengar bahwa lokasi yang penuh perkebunan dan persawahan itu bakal dibangun sebuah perusahaan.
"Kalau dulu saya juga tahun 91 kalau gak salah, saya ngangon (gembala) di situ, ya tempat bermain saya di situ. Tahunya buat dibangun PT bukan pesantren ya industri lah,"
Bahkan lanjut Ongki, ia sempat berharap banyak terkait pembangunan pabrik. Sebab ia berpikir bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan dengan berdirinya pabrik. Namun, Ongki saat itu tidak menyangka bahwa yang dibangun ternyata sebuah pondok pesantren.
"Ya kita warga di sini kan berharap bisa bekerja di situ, bisa dapat penghasilan dengan adanya pabrik ternyata itu pesantren Al-Zaytun," ungkapnya.
![]() |
Bahkan, Ongki mengaku orang tuanya dulu terpaksa ikut menjual lahan kepada Sandrem (Sebutan Al-Zaytun dulu). Hal itu dilakukan secara terpaksa lantaran pemilik lahan di sekitarnya sudah melepas lahannya.
"Ya mau tidak mau ya dijual ya orang lain juga dijual orang ditingker (dijual semua sekeliling nya). Ya terpaksa karena yang di sampingnya kan dijual," kata Ongki.
Ketika itu, lahan milik ibunya seluas 150 Bata dibayar Rp1.200.000. Penjualan lahan oleh warga ke Al-Zaytun itu dilakukan sekitar tahun 1990 lalu.
"Ya orang tua saya juga kan menjual lahan ke Sandrem, dulu kan namanya Sandrem. Jadi ada lahan 150 Bata kalau gak salah, cuman dibayar waktu itu Rp1.200.000, kalau gak salah ya tahun 90an," jelasnya.
"Waktu saya masih kecil inget aja tuh buat beli sepeda, sepeda juga masih ada, cuma dapet sepeda aja itu tuh harganya Rp900 Ribu dulu. Iya masih ada," imbuhnya.
Namun, setelah kawasan ponpes itu beroperasi, warga sekitar sulit mengakses area tersebut. "Saya kan gembala di situ ya gak boleh masuk jadi dibatas pagar aja. Ya di usir," ujar Ongki.
Dengan fenomena viralnya Al-Zaytun, ia berharap pemerintah segera bertindak. "Ya kan udah jelas, di situ kan udah viralin sendiri ya, bukan di viralin tapi viral sendiri buka tabir sendiri jadi warga juga udah tahu. Mending pemerintah turun lah, bubarkan kalau bisa karena tidak ada manfaatnya," pungkasnya.
(yum/yum)