Ngerinya Dampak dari Perkawinan Anak

Ngerinya Dampak dari Perkawinan Anak

Bima Bagaskara - detikJabar
Selasa, 27 Jun 2023 19:45 WIB
Ilustrasi cincin pernikahan
Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/nurdanst)
Bandung -

Perkawinan anak masih jadi masalah serius yang ditangani oleh pemerintah. Berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka perkawinan anak yang dianggap merupakan bagian dari kekerasan yang berdampak besar terhadap masa depan anak.

Menurut data dari Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga (PKK) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat, ada 8.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang tahun 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 5.523 permohonan dikabulkan.

Padahal, perkawinan anak membawa berbagai dampak negatif bagi anak, termasuk ancaman putus sekolah yang melanda dimana di tahun tersebut sebanyak 10.884 anak di Jawa Barat mengalami putus sekolah yang salah satu faktornya karena perkawinan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala DP3AKB Jabar, Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka mengatakan, 20 persen penduduk Jabar merupakan anak dengan jumlah mencapai kurang lebih 15 juta jiwa. Karena itulah, angka perwakilan anak di Jabar tergolong tinggi.

"Kalau melihat angka tinggi tapi setiap tahun mengalami penurunan jika dilihat dari permohonan dispensasi kawin anak di pengadilan agama. Di 2020 8.610 turun jadi 6.789 dan 2022 turun jadi 5.523," kata Kim dalam Dialog Antargenerasi: Gotong Royong Melindungi Masa Depan Anak, Katakan #TidakKawinAnak di Gedung Sate, Bandung, Selasa (27/6/2023).

ADVERTISEMENT

Menurutnya, faktor utama yang menjadi penyebab perkawinan anak di Jabar adalah faktor ekonomi, pemahaman orang tua hingga budaya. Sebab kata dia, masih ada anggapan jika anak perempuan harus segera dinikahkan dan tak perlu diberi pendidikan tinggi.

"Faktor utamanya selain ekonomi ada juga faktor kebudayaan yang menganggap anak perempuan itu tidak usah sekolah tinggi, supaya tidak membebani keluarga nikahkan saja, seperti itu masih ada. Terkait angka kemiskinan, pemahaman orang tua juga penting," jelasnya.

Kim juga mengungkap risiko yang harus dihadapi anak setelah menikah. Risiko pertama adalah belum siapnya alat reproduksi seorang anak yang bisa berdampak pada keselamatan ibu dan bayi ketika melahirkan.

Selain itu, perkawinan anak juga berpotensi melahirkan bayi yang mengalami stunting. Itu lantaran anak yang menikah belum mengetahui jelas bagaimana cara pola asuh terhadap anak. Belum lagi ancaman perceraian karena belum siapnya mental.

"Perkawinan anak beresiko, lahir bayi stunting ya, kemudian bagaimana mereka nanti pola asuh kepada anak kurang pengetahuan cukup. Angka kematian ibu juga tinggi, angka kematian bayi juga, angka perceraian juga. Karena mereka tidak siap secara mental ya rentan cerai ini masalah lagi, kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya.

Kim juga memaparkan soal dispensasi kawin yang sejatinya memiliki prinsip untuk mencegah perkawinan anak. Dispensasi kawin ini diberikan dengan mempertimbangkan banyak hal yang salah satunya adalah hamil di luar nikah.

"Kenapa ada dispensasi karena menikah itu harus sah secara negara ya demi hak istri dan anak. Tapi dispensasi ini prinsipnya kepentingan terbaik untuk anak. Kalau hamil duluan gimana, ya itu pertimbangan untuk dispensasi juga dari pengadilan agama. Kalau hanya cinta ya itu dipertimbangkan juga, sebetulnya ini membantu pencegahan perkawinan anak, tapi memang ada situasi yang tidak terhindarkan," papar Kim.

Sementara itu, Manajer Program SPACE (Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan Kaum Muda), Herbet Barimbing menambahkan, salah satu yang disorot soal perkawinan anak adalah dispensasi kawin. Sebab banyak kasus yang akhirnya dispensasi itu dikabulkan meski anak masih berusia jauh di bawah usia layak menikah.

"Salah satu yang disoroti adalah dispensasi kawin pada anak karena banyak terjadi yang memang akhirnya dispensasi disetujui dan anak menikah. Kita menolak perkawinan anak," tegasnya.

Meski tren perkawinan anak menurun dari tahun ke tahun berdasarkan dispensasi kawin, namun hal itu tidak membuat sejumlah pihak seperti Plan Indonesia yang konsen untuk menyelamatkan hak anak dan mencegah perkawinan anak berdiam diri.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah perkawinan anak adalah dengan menghadirkan pendidik sebaya. Pendidik sebaya ini punya tugas untuk mengedukasi anak soal seksualitas dan resiko perkawinan anak.

"Kalau dari Plan Indonesia sendiri pendekatan kita yang utama adalah pendidik sebaya. Karena salah satu aspek perkawinan anak itu hak kesehatan seksual dan reproduksi. Pemahaman ini yang perlu ditanamkan kepada anak," jelasnya.

"Biasanya kalau bicara seksualitas itu di Indonesia tabu ya, nah pendidik sebaya salah satu upaya agar tidak ada batas membicarakan itu. Makanya plan Indonesia melakukan pendidik sebaya," lanjut Herbet.

Herbet juga mengatakan, upaya membangun partisipasi bermakna bagi remaja dan kaum muda harus dilakukan dengan melibatkan mereka dalam forum strategis. Misal, dengan menjadi anggota Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), tim Sekolah Ramah Anak (SRA), Forum Anak Desa, dan pendidik sebaya.




(bba/dir)


Hide Ads