Borok Sunjaya Terungkap Lagi di Persidangan
Kebobrokan Sunjaya Purwadisastra selama menjabat Bupati Cirebon periode 2014-2019 kembali dibuka di persidangan. Sunjaya disebut masih merasa belum puas meski sudah mendapat fee Rp 1 miliar ketika proses perizinan PLTU 2 Cirebon selesai diterbitkan.
Kebobrokan Sunjaya itu diungkap mantan anak buahnya, Rita Susana Supriyanti, yang pada saat itu menjabat Camat Beber. Rita mengaku Sunjaya sempat marah karena Direktur Corporate Affair PT Cirebon Energi Prasarana (CEP) Teguh Haryono hanya memberikan commitment fee proyek PLTU sebesar Rp 1 miliar.
Kemarahan Sunjaya, menurut Rita, terjadi karena Teguh diklaim menjanjikan uang Rp 5 miliar jika urusan izin PLTU 2 Cirebon sudah diterbitkan. Sampai akhirnya, Sunjaya menghubunginya untuk mencoba menagih commitment fee yang dijanjikan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kata Pak Sunjaya, Pak Teguh janji ke saya mau kasih uang Rp 5 miliar, tapi baru ngasihnya Rp 1 miliar. Kok begitu ya Pak Teguh, padahal proses perizinannya sudah kita bantu," kata Rita menirukan percakapannya dengan Sunjaya saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Bandung hari ini.
Rita kemudian diminta menagih kembali sisa commitment fee ke Teguh yang belum dibayarkan. Namun, menurutnya, Teguh saat itu menolak memberikan uang tambahan karena merasa fee Rp 1 miliar sudah cukup sebagai uang terima kasih saat mengurus perizinan PLTU 2 Cirebon.
Seperti tak kehabisan akal, Sunjaya kembali memerintahkan Rita menghubungi pihak Hyundai Engineering & Construction Co Ltd. Dari sinilah kemudian Rita baru mengenal Herry Jung, yang saat itu menjabat GM Hyundai.
Sunjaya makin leluasa menjalankan akal bulusnya karena pada saat itu proyek PLTU 2 Cirebon ditentang warga. Meski proses perizinannya telah terbit, perusahaan tidak bisa langsung membangun proyek itu karena banyaknya demonstrasi dari masyarakat.
Sunjaya lantas pasang badan. Dengan kuasanya, Rita menceritakan, Sunjaya mengklaim bisa meredakan demo warga atas proyek PLTU tersebut. Namun, syaratnya, dia meminta fee ke pihak Hyundai sebesar Rp 20 miliar untuk mengamankan demo ini.
"Maret 2017 ada permintaan untuk pengamanan. Kata Pak Sunjaya, ya kalau mau kondusif, saya bisa meredakan. Tapi saya butuh operasional, biar semuanya ikut mengamankan. Nggak bisa kalau nggak (ada) anggaran, saya nggak bisa apa-apa," ucap Rita.
Dari nominal Rp 20 miliar yang diminta, pihak Hyundai hanya bisa memenuhi Rp 10 miliar. Sunjaya pun sepakat dengan fee tersebut.
"Pertemuan kedua di April 2017 di pendopo, saya dipanggil Pak Sunjaya. Akhirnya Hyundai siap memberikan Rp 10 miliar," kata Rita.
Setelah deal dengan harga tersebut, masalah kemudian muncul. Uang Rp 10 miliar itu tidak bisa langsung dicairkan karena beberapa alasan.
Pihak Hyundai lantas mengusulkan uang Rp 10 miliar itu dicairkan dengan cara pembayaran kontrak pekerjaan konsultasi fiktif. Perusahaan milik menantu Rita, Muhamad Subhan, yaitu PT Milades Indah Mandiri, pun ditunjuk supaya bisa menyalurkan uang fee yang telah disepakati di awal.
Rita menyatakan awalnya sempat tidak setuju perusahaan menantunya digunakan untuk kepentingan itu. Pasalnya, perusahaan menantu Rita hanya berupa event organizer (EO). Namun lagi-lagi, Sunjaya dengan klaimnya memastikan semua akan berjalan baik-baik saja.
"Jadi uang Rp 10 miliar sudah disetujui, tapi tidak bisa dibayarkan tunai, harus melalui perusahaan. Terus kata Pak Sunjaya, dibikin saja perusahaan, saya bilang, ke putra Bapak saja. Tidak, anak saya tidak punya perusahaan, anaknya Bu Rita saja, kan pengusaha," ucap Rita.
"Pertamanya tidak mau, kedua tidak mau kalau perusahaannya dipakai ada fee perusahaan. Terus kata Pak Sunjaya, 'Sudah, nggak apa-apa. KPK itu teman-teman saya. Jadi nggak usah takut'," Rita menambahkan.
Pada 14 Juli 2017, penandatangan proyek fiktif itu kemudian dilakukan antara perusahaan Subhan dengan Hyundai senilai Rp 10 miliar. Perusahaan Subhan pun seolah-olah mendapat tugas untuk melakukan penilaian, investigasi, dan memberikan saran mengenai potensi keluhan dan koordinasi lokal di area PLTU 2 Cirebon. Atas kontrak proyek fiktif ini, Sunjaya menjanjikan Subhan menerima uang Rp 350 juta.
Setelah kontrak fiktif itu diteken, pembayaran dilakukan secara bertahap sejak Juni 2017 hingga Oktober 2018. Tahap pertama Rp 1,08 miliar yang dipotong pajak menjadi Rp 970 juta, tahap kedua Rp 2,16 miliar yang dipotong pajak menjadi Rp 1,94 miliar, tahap ketiga Rp 2,16 miliar yang setelah dipotong pajak menjadi Rp 1,94 miliar, tahap Keempat Rp 1,62 miliar yang setelah dipotong pajak menjadi Rp 1,455 miliar.
Selain mendapat fee dari Hyundai, sebelum pencairan setoran kedua dilakukan, Sunjaya menerima undangan untuk jalan-jalan ke Korea Selatan. Ia bersama dengan istrinya kemudian didampingi Deni Syafrudin, Rita Susana Supriyanti, Mahmud Iing, Tajudin dan Sono Suprapto dan istrinya kemudian bertolak ke Korea selama empat hari dengan semua biaya akomodasinya ditanggung Hyundai.
Ludahi Imam Masjid Bule Australia Dideportasi
Brenton Craig Abbas Abdullah McArthur, warga negara asing (WNA) Australia yang jadi tersangka peludahan imam masjid di Buahbatu, Kota Bandung dideportasi Imigrasi Bandung.
Rencananya, Brenton akan diterbangkan ke negaranya Australia melalui Bandara Soekarno-Hatta, pada Jumat (5/5/2023) malam.
Sebelum dideportasi, Brenton dihadirkan dalam konferensi pers dengan mengenakan rompi orange di Kantor Imigrasi Bandung, Jalan Surapati. Saat digelandang ke tempat konferensi pers, Brenton hanya tertunduk lesu, tanpa ekspresi.
Kepala Imigrasi Kelas 1 Bandung Arief Hazairin Satoto mengatakan, Brenton hari ini resmi dideportasi.
"Sesuai dengan Undang-Undang No 06 Tahun 2011 (tentang Keimigrasian), kami akan memulangkan dan deportasi ke negaranya," kata Arief saat melakukan konferensi pers di Kantor Imigrasi Bandung hari ini.
Selain dideportasi, Brenton juga dicekal masuk ke Indonesia dalam waktu enam bulan kedepan. "Dan akan kami tangkal enam minggu kedepan, yang bersangkutan tidak boleh ke Indonesia dalam enam bulan kedepan," ujar Arief.
Diberitakan sebelumnya, Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Budi Sartono mengatakan, korban yang diludahi Brenton resmi mencabut laporan. Setelah itu, Brenton pun dilimpahkan ke Imigrasi untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"Kasus dari kita pasal 335 ini telah kita hentikan. Tapi karena sudah masuk ranah mengganggu ketertiban umum, maka tersangka kita limpahkan ke imigrasi karena di situ ada pasal yang dilanggar," kata Budi di Mapolrestabes Bandung, Kamis (4/5).
Kantor Imigrasi Kelas I Bandung mendeportasi Brenton Craig Abbas Abdullah McArthur, warga Australia yang merupakan tersangka peludahan imam masjid di Buahbatu, Kota Bandung, Jumat (28/4) lalu.
Aksi tak menyenangkan ini menimpa Imam Tetap Masjid Al-Muhajir Muhammad Basri Anwar (24). Aksi peludahan yang dilakukan Brenton, diduga karena merasa terganggu dengan suara lantunan ayat suci Al-Quran yang diputar korban.
Kepala Imigrasi Kelas 1 Bandung Arief Hazairin Satoto mengatakan, kedatangan Brenton ke Bandung dengan menggunakan visa wisata.
"Untuk wisata, pakai visa travel, dia turis," kata Arief di Kantor Imigrasi Bandung, Jalan Surapati, Bandung, Jumat (5/5/2023).
Menurut Arief, Brenton landing di Bandara Kualanamu dengan menaiki Pesawat AK 391 Air Asia. "Dari tanggal 3 Maret yang bersangkutan landing di Bandara Kualanamu di Medan," ujarnya.
Visa travel milik Brenton habis, saat dia hendak pulang ke negaranya dan ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu, (29/4) lalu. "Diperpanjang sampai dengan 29 April 2023," tuturnya.
Karena sudah melanggar Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, Brenton pun akan dipulangkan ke negaranya.
"Hari ini kita pulangkan, kita deportasi ke negaranya, malam ini. Deportasi ini diberikan, latut diduga (Brenton) melanggar, ketertiban umum," pungkasnya.
(wip/mso)