Bandung punya tradisi kala merayakan Lebaran. Bersolek hingga menyalakan petasan sudah menjadi tradisi warga Bandung kala Idulfitri.
Suasana Bandung tempo dulu saat merayakan Lebaran begitu meriah. Koran Java Bode edisi 8 Maret 1879 memuat isi surat orang Prancis yang tinggal di Bandung. Di tahun itu, Lebaran jatuh pada 6 Maret 1879, tepat saat musim hujan.
Kala Ramadan hingga Lebaran masjid selalu ramai. Masjid-masjid di Bandung bersolek, lebih terang dibandingkan hari biasa. Bendera Belanda juga dikibarkan di masjid-masjid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin, di hari Lebaran, bendera Belanda berkibar di kanan dan kiri pintu masuk masjid. Masjid ini setelah perbaikan terakhir," tulis Java Bode seperti dikutip detikJabar, Selasa (18/4/2023).
Sehari sebelum Idulfitri, masyarakat menyalakan petasan di mana-mana, termasuk di lingkungan masjid. Petasan-petasan yang memeriahkan perayaan Lebaran di Bandung itu disebut-sebut buatan China. Hari terakhir Ramadan itu disebut sebagai garebek puasa. "Dari akhir puasa (poewasa) adalah Garebeg Poewasa," tulis Java Bode.
Java Bode menyebut orang-orang Bandung kala itu bersolek mengenakan pakaian baru hingga ramai-ramai berziarah. Mereka juga berkunjung ke rumah-rumah kerabat untuk bersilaturahmi. Masyarakat juga membayar zakat fitrah yang dikumpulkan kepada kepala kampung.
"Disesuaikan dengan kebiasaan adat, dan disebut fitrah," tulisnya.
Java Bode juga mendeskripsikan tentang aktivitas masyarakat saat Hari Lebaran. Di mana para orang tua di Bandung mengajak anaknya untuk bersilaturahmi ke keluarga dan kerabat. Belanda menulis secara sentimen cara berpakaian orang Bandung saat merayakan Lebaran.
"Anak-anak kecil berpakaian dengan warna paling norak, biru dan kuning, hijau dan merah dan sejenisnya. Kepala kecil ditutupi kerpus, dipangkas dengan hiasan. Sedangkan kaki kecil memakai sepatu atau sandal bersulam emas benang (songket). Mereka melangkah turun untuk pergi, lebih dari yang mereka injak dengan ornamen buatan mereka," tulis Java Bode.
Sementara itu catatan panjang milik Clockener Brousson, yang diterbitkan oleh Arnhemsche courant edisi 4 Maret 1905 menuliskan tentang aneka ragam perayaan Lebaran. Kemudian, ia juga menceritakan pengalamannya saat merayakan Lebaran di Bandung.
Ia menceritakan bupati, masyarakat, priyayi dan pejabat setempat melaksanakan ibadah salat Idulfitri sekitar pukul 06.00. Kemudian, para priyayi dan sesepuh berkunjung ke bupati untuk bersilaturahmi.
"Di rumah mereka, dan meminta maaf atas kekurangan mereka, dengan ciuman hormat di lutut. Kami juga bisa menghadiri upacara khas ini, berkat kebaikan hati bupati," tulis Arnhemsche courant.
"Sementara itu, banyak kembang api yang dimanjakan di luar lagi, juga di pekarangan kepala dinas itu. Pada jam 10.00, bupati mengunjungi residen dan memberitahu perwakilan otoritas ini, bahwa puasa telah berakhir," kata Arnhemsche courant menambahkan.
Setelah acara silaturahmi selesai, pejabat setempat dan menggelar permainan rakyat di alun-alun. Pesta besar-besaran pun digelar.
"Malam harinya diadakan pesta di kabupaten. Di seluruh kota hari itu dan enam hari berikutnya, orang Sunda yang ceria dengan pakaian renang warna-warni yang cantik, terlihat berkuda dan berpacu dan berkunjung, saling memohon maaf, di mana-mana dengan membungkuk dan jabat tangan," tulisnya.
"Seharusnya tidak ada permusuhan di antara orang-orang beriman pada hari itu. Berikut adalah beberapa kenangan samar tentang festival Lebaran seperti yang saya lihat dirayakan di Priangan," tutup Clockener Brousson dalam Arnhemsche courant.
(sud/mso)