Kopi: Dulu Bawa Derita, Kini Ajang Pamer Eksistensi

Lorong Waktu

Kopi: Dulu Bawa Derita, Kini Ajang Pamer Eksistensi

Sudirman Wamad - detikJabar
Sabtu, 11 Mar 2023 18:30 WIB
ilustrasi biji kopi
Ilustrasi kopi (Foto: thinkstock)
Bandung -

Tanam paksa atau cultuurstelsel era Hindia Belanda di Priangan memunculkan budaya 'ngopi' di Bandung. Kumpul-kumpul sembari mencicipi cemilan dan minuman, tanpa sajian kopi pun bisa disebut ngopi. Lantas, apakah budaya ini masih melekat di Bandung?

Kala itu, Bandung dan sekitarnya memang terkenal sebagai penghasil kopi. Sehingga, keseharian masyarakatnya pun tak lepas dari kopi. Namun, zaman berubah. Aneka kopi telah beredar, dari sachet, masih dalam bentuk biji, bubuk, hingga menjamurnya kedai kopi.

Pegiat Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung mengatakan ada pergeseran budaya ngopi di Bandung. Warga Bandung sebelumnya menyebut ngopi sebagai budaya menikmati cemilan meski tanpa kopi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab dulu masyarakat tak bisa menikmati kopi lantaran dieksploitasi sistem tanam paksa. Kini, budaya ngopi bergeser menjadi media untuk menguatkan eksistensi dengan mengikuti tren.

ADVERTISEMENT

"Sekarang budaya ngopi kita lebih banyak ke tren. Dan, kita sering sibuk sama hal-hal yang di luar dari budaya minum kopi, atau sifatnya estetika. Entah itu (estetika) dalam teknik membuatnya, prosesnya, hingga tempat (kedai) yang berlatar belakang gunung atau danau. Jadi, lebih ke gaya hidup ya," kata Ridwan saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (9/3/2023).

Ridwan menegaskan budaya ngopi di Bandung bukan lagi bagian dari keseharian masyarakat. Sehingga, masyarakat akhirnya tak rewel soal jenis kopi.

"Sachet ya sudah disebut ngopi. Dan terbiasa saset mungkin ya, daripada kopi biji yang melalui proses hingga bisa diseduh," kata Ridwan.

Sementara itu, mengutip dari Jurnal Sosioteknologi yang diterbitkan Februari 2020, berjudul 'Kopi Priangan: Pengukuhan Identitas Melalui Budaya Ngopi dan Bermedsos (Media Sosial)' yang disusun Lina Meilinawati Rahayu, Safrina Noorman, dan Ritma Fakhrunnisa dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad menyebut responden yang datang ke kafe atau kedai kopi itu untuk melakukan pekerjaan, bukan untuk menikmati kopi. Jadi, responden tak memerhatikan aspek kopi pada saat mereka datang ke kafe.

Transaksi Kedai Kopi di Medan Naik 350% Berkat TokopediaTransaksi Kedai Kopi di Medan Naik 350% Berkat Tokopedia Foto: Dok. Tokopedia

Jurnal itu menyebut yang datang ke kedai atau kafe tidak mempersoalkan jenis kopi, dari mana kopi itu berasal, dan tidak perhatian juga pada cita rasa kopi.

"Kafe adalah tempat untuk bersosialisasi, mendapatkan suasana berbeda (dari kantor atau tempat belajar) untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Ngopi adalah perilaku sosial untuk membangun atau mengukuhkan identitas seseorang dalam lingkungannya," tulis jurnal tersebut seperti dikutip detikJabar.

Sehingga, peneliti menilai mengenalkan kopi Priangan di kafe-kafe membutuhkan strategi khusus agar terbangun perubahan sikap dan terjadi proses preferensi pada kopi Priangan. Riset ini dilakukan di Bandung dan Jatinangor.

"Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa budaya kopi dan perilaku ngopi di kalangan masyarakat urban Bandung-Jatinangor belum terlalu menguatkan kehadiran kembali kopi Priangan. Upaya-upaya yang telah dilakukan perlu dibarengi 'pendidikan' bagi pengunjung kafe, karena pengenalan kopi Priangan berarti juga pengangkat identitas Priangan melalui kopi, bukan sekadar menjual kopi. Ini dicontohkan oleh Starbucks yang menurut Bookman (2014) membuka kafe sambil memperkenalkan gaya hidup baru, yaitu berkumpul sambil minum kopi," tulisnya.

(sud/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads