Mengingat Kembali Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Mengingat Kembali Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Naja Sarjana - detikJabar
Senin, 27 Feb 2023 23:30 WIB
Aksi teatrikal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, (3/3/2019)
Aksi teatrikal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. (Foto: Usman Hadi/detikcom)
Bandung -

Tanggal 1 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara. Peringatan tersebut merujuk kepada peristiwa Serangan Umum 1 Maret pada akhir masa perang kemerdekaan Indonesia di tahun 1949.

Serangan Umum 1 Maret merupakan peristiwa terjadinya penyerangan besar-besaran di Ibu Kota Indonesia kala itu, Yogyakarta. Serangan ini digagas Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai upaya mengusir sekutu dari Ibu Kota.

Peristiwa ini patut diingat sebagai hari yang bersejarah atas semangat bangsa Indonesia untuk menjaga kedaulatan negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949

Peristiwa ini dilatarbelakangi keputusan Belanda tidak mengakui keberadaan NKRI dan TNI. Kemudian, Belanda juga menolak resolusi yang telah dikeluarkan Dewan Keamanan PBB. Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat antara Indonesia dan Belanda pun dilanggar sekutu.

Serangkaian cara dilakukan Belanda untuk menarik kembali pengakuan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Mulai dari agresi militer hingga menyebarkan propaganda di dunia internasional.

ADVERTISEMENT

Serangan 1 Maret 1949 pun dilakukan atas gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan terhadap pasukan sekutu. Serangan ini dilakukan demi menjaga kedaulatan negara Indonesia. Seluruh komponen masyarakat pun bersatu untuk menyukseskan serangan ini.

Kronologi Serangan Umum 1 Maret 1949

Melansir dari naskah akademik yang dirilis Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Serangan Umum 1 Maret 1949 ini merupakan rangkaian panjang dari peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia kala itu. Dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Melalui Amanat 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengakui Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman adalah bagian dari Indonesia. Kemudian, ibu kota Indonesia pun dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Usulan ini diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX karena Jakarta dianggap tidak lagi kondusif untuk menjalankan pemerintahan. Aksi teror hingga percobaan pembunuhan telah dilakukan pasukan sekutu Belanda terhadap para pejabat NKRI di Ibu Kota. Tawaran ini pun disetujui Soekarno sebagai Presiden Indonesia kala itu.

Pada tanggal 7 Februari 1946, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai membahas terkait situasi di Indonesia yang semakin memanas. Kemudian dibuatlah perjanjian untuk Indonesia dan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian Linggarjati.

Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 15 November 1946 ini, disetujui kedua belah pihak akan dilakukannya gencatan senjata.

Dalam Perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui wilayah kekuasaan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Akan tetapi, Belanda melanggar perjanjian ini dan kembali melakukan gencatan senjata dari 21 Juli hingga 15 Agustus 1947. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer I.

Untuk mengakhiri Agresi Militer I, diadakan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Agresi Militer I Belanda I telah membuat NKRI mengalami banyak kerugian. Salah satunya karena Belanda menguasai daerah Sumatera dan Jawa.

Belanda akhirnya merencanakan merebut Ibu Kota Indonesia yang telah dipindahkan ke Yogyakarta melalui Agresi Militer II. Kabar terkait Agresi Militer II ini pun terdengar pemimpin Indonesia kala itu, Soekarno dan Moh. Hatta.

Untuk menyelamatkan Indonesia, kedua pemimpin melakukan sidang kabinet pada 19 Desember 1948 dan merumuskan berbagai skenario. Keputusan yang dibuat antara lain: mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat, memerintahkan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menangani dan mengatasi masalah keamanan dan ketertiban di Ibu kota negara jika Presiden dan Wakil Presiden ditangkap Belanda, dan memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk melakukan siasat perang gerilya.

Agresi Militer II akhirnya diluncurkan Belanda pada 19 Desember 1948 bertempat di Ibu Kota NKRI, Yogyakarta. Presiden, Wakil Presiden, beserta beberapa menteri ditangkap dan diasingkan ke beberapa wilayah di Indonesia oleh Belanda. Sejak itu, Belanda menyebarkan propaganda ke dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada.

Sesuai dengan keputusan yang telah dibuat saat sidang kabinet, PDRI didirikan di Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara. Panglima Besar Jenderal Soedirman pun memutuskan keluar dari Ibu Kota dan melakukan perang gerilya. Penyerangan ke pos-pos pasukan Belanda pun dilakukan oleh gerilyawan TNI sepanjang Desember 1948 hingga Februari 1949.

Sidang pun dilakukan PBB pada Februari 1949 untuk membahas nasib Indonesia. Mendengar kabar ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan siasat untuk berjuang secara diplomatik di tingkat internasional.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan gagasannya kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan umum dari berbagai penjuru. Serangan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat mulai dari rakyat biasa, pelajar, kepolisian, hingga TNI.

Tepat pada 1 Maret 1949, sesaat setelah sirine tanda berakhirnya jam malam berbunyi, pasukan Indonesia menyerang Yogyakarta dari berbagai penjuru. Serangan ini berlangsung mulai dari jam 6 pagi dan pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Berita ini pun tersiar ke luar negeri melalui radio.

Dampak Serangan Umum 1 Maret 1949

Keberhasilan pasukan TNI beserta seluruh komponen masyarakat yang terlibat membawa dampak cukup besar bagi kedaulatan NKRI. Negara-negara bentukan Belanda di Indonesia seperti Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Timur, dan lainnya berbalik memihak Indonesia setelah mengetahui keadaan Indonesia yang sebenarnya. Dewan Keamanan PBB pun mendesak Belanda untuk berunding kembali dengan Indonesia.

Amerika Serikat pun turut mengancam akan memberikan sanksi ekonomi terhadap Belanda setelah mengetahui kondisi yang tidak membaik. Belanda akhirnya setuju berunding kembali dengan Indonesia.

Melalui Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949, Belanda menyetujui gencatan senjata, mengembalikan pemimpin Negara Indonesia ke Yogyakarta, serta mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Belanda, Republik Indonesia, dan negara-negara bentukan Belanda di Indonesia akhirnya dipertemukan pada Konferensi Meja Bundar dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Melalui konferensi yang dilakukan tersebut, kedaulatan Indonesia pun diakui.

Upacara pengakuan kedaulatan Indonesia pun dilakukan pada 27 Desember 1949 dan diserahkan Ratu Belanda kepada Mohammad Hatta yang selanjutnya diserahkan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada tahun 2022, tanggal 1 Maret pun ditetapkan sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara untuk memperingati peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Hari ini perlu diperingati sebagai bentuk penghormatan untuk para pejuang yang telah menjaga kedaulatan Indonesia.

Twibbon 1: https://www.twibbonize.com/peringatanseranganumum1maret
Twibbon 2: https://www.twibbonize.com/seranganumum1maret02

Halaman 2 dari 3
(iqk/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads