Menelisik bangunan Masjid Agung Manonjaya, tak hanya menarik dari sisi fungsi utamanya sebagai tempat ibadah atau sebagai objek penelitian dan edukasi sejarah semata.
Lebih dari itu ada kisah-kisah unik atau legenda urban yang berkaitan dengan masjid yang berlokasi di depan alun-alun Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya tersebut. Meski tak dapat diterima logika, namun cerita-cerita itu dikenal luas di kalangan masyarakat Manonjaya.
Salah satunya adalah larangan atau pantangan untuk menembak burung yang bertengger di puncak menara Masjid Agung Manonjaya, terutama di puncak menara bagian tengah (dari arah timur). Jika berani-berani melanggar, akibatnya bisa fatal.
"Jadi ada cerita di masyarakat, dulu ada seorang warga yang menembak burung yang bertengger di puncak menara itu. Konon akibat perbuatannya itu dia sampai meninggal dunia, sebagian ada yang menyebutnya sekedar pingsan," kata Juru Pelihara Masjid Agung Manonjaya, Rusliana, belum lama ini.
Larangan menembak atau mengetapel burung di puncak menara juga dibenarkan oleh Bashor (58) warga Manonjaya. "Iya itu mah dulu cerita orang tua. Ada kejadian burungnya mati orang yang nembak ikut mati. Pamali, jangan ganggu burung di puncak masjid. Ya sekarang juga janganlah, buat apa nembak-bembak burung, kasihan," kata Bashor.
Uniknya puncak menara atau mustaka yang dianggap "bertuah" itu adalah satu yang berada di tengah. Itu adalah mustaka yang terbuat dari tanah lempung.
![]() |
Mustaka karya perajin dari daerah Kawasen atau yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Banjaranyar Kabupaten Ciamis itu, dibuat dan dipasangkan pada pembangunan Masjid Agung Manonjaya yang kedua atau pembangunan perluasan pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wira Adiningrat.
"Konon menurut cerita orang tua, mustaka itu sempat dipindahkan saat pembangunan Masjid Agung Tasikmalaya, Tapi ternyata mustaka itu pindah sendiri, kembali ke Masjid Agung Manonjaya. Memang tak bisa diterima logika, tapi cerita itu beredar di masyarakat zaman dulu," kata Rusliana.
Pemindahan mustaka Masjid Agung Manonjaya kala itu berkaitan dengan pemindahan ibukota Sukapura ke kawasan Kota Tasikmalaya sekarang. Tapi seolah tak mau dipindah, mustaka itu dianggap pindah sendiri, kembali ke Manonjaya.
Pembuat mustaka berbahan tanah lempung itu berasal dari Kawasen yang saat itu dikenal sebagai wilayah dengan orang-orangnya yang memiliki kesaktian. "Ya cerita-cerita semacam itu kan lumrah di zaman dulu. Kisah orang berjalan di atas air, bisa menghilang dan sejenisnya. Nah daerah Kawasen itu terkenal karena adanya orang-orang sakti seperti itu," kata Rusliana.
Rusliana menjelaskan cerita-cerita mistis di luar nalar itu, hanya sebatas bumbu cerita atau kisah yang beredar di kalangan masyarakat. "Hanya sebatas cerita aheng saja, tanpa bermaksud mengganggu kesucian masjid sebagai tempat ibadah," kata Rusliana.