Eksekusi lahan untuk pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Selatan di Kampung Citaman, Desa Tamansari, Pangkalan, Karawang menyisakan pilu bagi warga. Salah satunya keluarga Inam (50) yang kini harus tinggal satu atap terpal dengan kandang ayam.
"Ini masih bisa saya tinggali, saya punya bale (ranjang kayu) yang masih bisa dipakai, tinggal saya susun sama pagar, dikasih atap terpal diikatkan ke kandang ayam saya," ujar Inam, saat ditemui tengah menata pagar kandang ayam yang ditinggalinya, Kamis (2/2/2023).
Inam mengaku menjadi salah satu kepala keluarga yang merasa dirugikan, imbas pembangunan jalan tol tersebut. Ia tak menyangka kehidupan warga Citaman yang damai kini jadi mimpi buruk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus terang saya sakit. Kami ini orang kecil, bukan konglomerat yang punya tanah dimana-mana pindah dari sini tinggal nempatin di sana. Ini satu-satunya tempat tinggal kami yang sederhana," ucap Inam sembari menghela nafas dalam menyembunyikan raut wajah sedihnya.
200 meter lahan yang dia bangun menjadi satu unit rumah yang ditinggali keluarganya, kini sudah dihancurkan excavator, saat proses eksekusi yang dilakukan pada Senin (30/1/2023) lalu.
Daripada harus pindah dan menerima pembayaran tak sesuai harga, Inam memilih tinggal di kandang ayam sementara sembari menunggu proses gugatan yang akan dilakukannya.
"Bukan cuma saya, kami akan melawan, daripada kami menerima uang beli paksa, lebih baik sementara tinggal di sini daripada mengungsi. Kami akan menggugat atas kezaliman yang dilakukan ini," kata dia.
![]() |
Inam mengungkap, tanah yang didiaminya seharusnya dijual dengan harga pasaran berkisar Rp2 juta per meter. Bukannya dibeli secara paksa dengan harga Rp200 ribu per meter.
Diketahui, sesuai putusan Ketua Pengadilan Negeri Karawang tanggal 12 Desember 2022, bernomor 13/Pdt.Eks/PNKwg Jo Nomor 3/Kons/2021/2021/PNKwg. Diberitahukan bahwa eksekusi tanah yang terdampak pembangunan tol Jakarta-Cikampek II Selatan, dilaksanakan pada 30 September 2022.
Siap Melawan
Sebanyak 24 rumah, 46 kepala keluarga (KK) yang berdiri di 53 bidang tanah, juga telah dieksekusi. Namun nahas, proses ganti rugi tanah diputuskan sepihak alias tidak memberi kesempatan pemilik tanah untuk menawar harga.
"Sejak 3 tahun lalu ada tim Jasa Marga yang mendatangi kami memberitahukan soal pembangunan tol ini, kami memang tidak diberi kesempatan untuk menawar harga. Hanya sebatas memberi tahu bahwa akan dibangun jalan tol, tanah kami dibayar segini (Rp200 ribu per meter), itu kan dzolim sama kami," ungkap Inam.
Meski posko pengungsian sudah disediakan di beberapa lokasi, usai dieksekusi, Inam tetap bersikukuh mempertahankan tanahnya. Sebab baginya jika menerima uang pembelian tanah pun tak akan memperbaiki kehidupan keluarganya.
"Mending saya di sini, uang Rp200 cukup beli apa? Ini tanah saya, tempat tinggal saya. Kami bayar pajak pak, tapi apa yang mereka (pemerintah) lakukan kepada kami? Ini penjajahan," ujarnya.
Inam berharap, jika proses gugatan dilakukan nanti, ia mendapat putusan yang adil atas apa yang menimpanya saat ini. Sebab, tak ada lagi upaya yang bisa dilakukan selain melakukan gugatan di pengadilan.
"Kita tetap menggugat, harapannya semoga pas gugatan nanti, kami dapat putusan yang berkeadilan. Karena kami juga warga negara yang taat hukum dan membayar pajak," pungkasnya.
(yum/yum)