Stigma Buruk Eks Lokalisasi Pasar Monyet Sukabumi yang Mulai Pudar

Stigma Buruk Eks Lokalisasi Pasar Monyet Sukabumi yang Mulai Pudar

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 15 Jan 2023 14:30 WIB
Eks lokalisasi Pasar Monyet di Sukabumi.
Eks lokalisasi Pasar Monyet di Sukabumi. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Geliat lokalisasi Pasar Monyet, sebuah kawasan di Pesisir Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pernah terkenal di tahun 80-an. Meski sudah mulai terkikis zaman nama Pasar Monyet masih menjadi bagian dari cerita yang tidak terlupakan.

Nama kawasan Pasar Monyet-Karang Naya itu, bahkan menjadi bahan candaan sejumlah warga sekitar sebagai penyebutan untuk seseorang yang telat saat ada janji temu. Salah seorang warga sekitar, Mamah (52) menceritakan asal usul Pasar Monyet.

"Banyak istilahnya, Pasar Monyet itu dulunya memang banyak monyet yang turun ke lokasi itu. Kemudian banyak warung remang yang tumbuh di tahun 80- an itu, istilah Pasar Monyet kemudian disematkan juga kepada wanita nakal yang menjajakan diri di tempat itu, karena kelakuan kayak monyet," kata Mamah (52) kepada detikJabar, belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pikiran Mamah menerawang mengingat istilah populer di kawasan itu. Saat itu, kawasan Pasar Monyet masih gelap gulita, hanya menggunakan penerangan seadanya. Belum ada aliran listrik masuk ke kawasan itu. "Bentuknya warung-warung biasa tidak ada penerangan, remang-remang istilahnya. Setiap warung menjajakan minuman keras, namun lama-kelamaan aliran listrik mulai masuk tapi meskipun begitu lampunya tetap redup," kisah Mamah, ia mengaku paham setiap sudut kawasan itu di masa lalu. Ia berjualan nasi goreng dan di tempat prostitusi itu.

"Dulu ada istilah Welong, kepanjangannya apa saya kurang paham namun ada juga yang menyebut istilah itu Awewe Kalong (perempuan kelelawar) karena keluarnya malam, kalau siang sampai sore enggak ada itu. Karena kebanyakan mereka juga pendatang," sambung Mamah.

ADVERTISEMENT

Di masa lalu, hanya ada beberapa penginapan berdiri di Palabuhanratu, lokasi paling dekat dengan kawasan itu adalah salah satu hotel berbintang. Meskipun begitu banyak tamu dan perempuan nakal di kawasan itu yang memilih untuk transaksi prostitusi di sekitar kawasan itu hingga kemudian dikenal istilah 'gelar tiker'.

"Pengunjung sudah campur aduk, darimana-mana bahkan ada juga bule yang datang. Jadi ketika mereka mau begituan, ada istilah Gelar Tiker, lokasinya di pasir dulu itu ada rimbunan pandan jadi kalau di situ cukup ampar tikar jadi. Karena kebanyakannya mungkin mau ke penginapan mahal akhirnya begituan di pasir pakai tikar," tuturnya.

Hendri alias Boeng salah satu warga Kecamatan Cikakak membenarkan istilah gelar tiker. Menurutnya pesisir di sekitar Pasar Monyet Karang Naya kerap dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk transaksi seksual. Soal tamu, Boeng menyebut mereka tidak hanya warga lokal. Ada juga bule alias tamu asing yang datang mereka kerap mendatangi lokasi itu untuk mencari perempuan sesuai selera mereka.

"Dulu ramai, ada yang sengaja datang dari tambang emas Pongkor. Kalau banyak uang mereka borong satu warung, warung di tutup hanya untuk mereka, tidak hanya warga kita ada juga orang asing yang datang sekedar berkenalan dengan perempuan lalu di bawa entah ke mana," katanya.

Stigma Negatif yang Mulai Pudar

Lantunan ayat suci Alquran terdengar dari pengeras suara Masjid Daaruttaubah, di area Karangnaya, Kecamatan Cikakak. Area yang di masa silam dikenal sebagai kawasan prostitusi di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Terlihat warung-warung wisata yang dibangun pemerintah setempat berjajar rapi. Sebagian terbuat dari tenda terpal warna-warni, saat ini mayoritas penghuni kawasan itu adalah warga asli dari Kecamatan Cikakak.

"Kebanyakan warga asli Cikakak, masjid ini dibangun saat jaman Bupati Sukmawijaya. Beliau juga kalau tidak salah dulu pernah menyumbang untuk pembangunan masjid itu," kata Hendri, warga yang berjualan bakso tusuk dan es kelapa saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.

Menurut Hendri sejak 2019, toa atau pengeras suara masjid tidak pernah berhenti melantunkan ayat suci alquran setiap harinya. "Terus-terusan pengajian, dulu tempat ini ramai wisatawan namun selepas Corona (COVID-19) sepi padahal saat PPKM malah ramai pengunjung. Selepas itu sepi, ditambah BBM naik makin turun pengunjung," ungkapnya.

Hendri menyebut tidak adalagi penjual minuman keras atau warung remang-remang di kawasan yang dahulu dikenal dengan Pasar Monyet. Warga berjualan kopi dan makanan ringan kepada wisatawan di tempat tersebut. "Pada jualan biasa saja, kalau bicara dulu ia ini tempat warung remang-remang. Setelah di bakar pada hilang, aman kalau sekarang yang ramainya Salat lima waktu tidak terlewat setelah ada masjid," tuturnya.

(sya/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads