Pilu Remaja Bandung Peniru Suara Hewan

Round-Up

Pilu Remaja Bandung Peniru Suara Hewan

Tim detikJabar - detikJabar
Selasa, 27 Des 2022 08:10 WIB
Sahroni Febrianto dan ayahnya.
Sahroni Febrianto dan ayahnya. (Foto: Yuga Hassani/detikJabar)
Bandung -

Namanya Sahroni Febrianto (16). Di luar kesibukannya sebagai pedagang batagor, remaja asal Pacet, Kabupaten Bandung ini banyak menuai sorotan setelah aksinya yang bisa meniru berbagai suara hewan. Belakangan ini ia ramai diperbincangkan di media sosial.

Sahroni bisa meniru suara-suara hewan itu sejak masih SD. Itu merupakan bakat alami yang ia miliki. Mulai dari suara sapi, domba, monyet hingga kuda, bisa ia tirukan bunyinya hingga menjadi hiburan tersendiri bagi warga Kampung Maruyung Al Zamzam, Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung ketika Sahroni mulai mempertunjukkan kemampuannya itu.

Saat ditemui detikJabar, Sahroni mengaku tak mengetahui bakat itu dari mana dia dapatkan. Dia tiba-tiba saja bisa menirukan berbagai jenis suara hewan. Namun yang ia ingat, bakat alami tersebut sudah mulai ia kuasai sejak kecil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudah bisa suara-suara itu dari masih kecil, saya lagi sekolah sudah bisa kayak gitu. Kalau suaranya ada suara sapi, domba, monyet, kuda," ujar Sahroni sambil menirukan suara-suara tersebut saat ditemui di kontrakannya, Minggu (25/12/2022).

Sebetulnya, Sahroni adalah penjual batagor di pasar. Jika ingin mendapatkan penghasilan lebih, Sahroni tak segan mengambil kerja serabutan. Salah satunya menjadi tukang parkir yang membuatnya ramai diperbincangkan di media sosial karena bertugas sambil menirukan suara hewan.

ADVERTISEMENT

Selama berjualan batagor, Sahroni mengaku pendapatannya tak tentu. Jika ramai, ia bisa menjual 40 bungkus batagor dalam sehari. Namun biasanya, hanya bisa menjual 20 bungkus saat berjualan.

"Sekarang mah jualan di pasar, seringnya jualan batagor. Kalau pendapatannya tergantung jualan, kadang 20 bungkus, kadang 40 bungkus. Paling saya cuma dapat Rp 500 per bungkusnya, ya alhamdulillah kadang dapat Rp 20 ribu, kadang Rp 30 ribu," jelasnya.

Kisah Pilu Masa Lalu

Di balik kepiawaiannya menirukan ragam suara hewan, ada kisah pilu yang dialami Sahroni. Dia punya pengalaman buruk di dunia pendidikan.

Sahroni putus sekolah saat dia duduk di bangku SD. Ayah Sahroni, Dadang Abdul Hamid (50) menceritakan bila anaknya mengalami tindakan bullying di sekolah hingga tak mau melanjutkan pendidikan. Menurutnya, Sahroni terakhir duduk di bangku kelas 3 SD.

"Kelas 3 SD, karena di-bully, nggak mau lagi sekolah. Setelah itu keluar aja sekolah. Dia jadi korban bully juga. Soalnya dia punya sakalor atau epilepsi gitu," ujar Dadang.

"Bapak pindah rumah dari Cibangoak ke Desa Cikoneng, terus SD-nya pindah ke Agus Salim. Pas di Agus Salim di-bully, dijauhi anak-anak yang lain," tambahnya.

Dadang menyebutkan setelah keluar dari sekolah, anaknya tersebut semakin enggan berada di rumah. Jika hanya berdiam diri di rumah, Sahroni malah jadi kesal hingga mengerjakan apapun yang bisa mendatangkan uang.

Dadang mengungkapkan cita-cita anaknya tersebut adalah hanya ingin bisa tampil di televisi. Mimpi Sahroni sempat terwujud kala diundang oleh Brownies Trans Tv pada tahun 2021 silam.

"Kalau cita-cita ya dia pengen jadi artis, terutama masuk tv, pengen dikenal banyak orang. Cuma saya selalu mengingatkan jangan banyak berkhayal. Dulu kan dia pengen masuk tv, pas udah masuk tv ke acara Brownies, ya udah lah itu udah kecapai juga," pungkasnya.

Selain bully, Dadang juga mengungkapkan kondisi kesehatan anaknya. Sahroni ternyata mengidap penyakit serius. Sahroni juga kerap mengalami kejang-kejang atau epilepsi semenjak sekolah kelas 2 SD. Bahkan penyakitnya tersebut kerap kambuh jika mengalami kelelahan.

"Awalnya dari kelas 2 SD punya penyakit sakalor, semacam epilepsi lah. Langsung kena, nggak ada ciri-cirinya, selepas dari sana langsung punya kelebihan suara-suara itu. Sekitar tahun 2014 lalu lah," ujar Dadang.

Dadang menuturkan anaknya tersebut sempat jatuh saat masih bersekolah. Pihaknya menduga hal tersebut yang membuatnya bisa sampai seperti ini.

"Sempat jatuh di lantai dua sekolah pas kelas 2 SD, jatuh di pohon kedongdong tingginya 8 meter. Pernah juga hanyut sekitar 10 meter lebih. Sempat patah tangan," ucapnya.

Dia mengaku sedih saat kondisi epilepsinya tengah kambuh. Namun, menurutnya saat ini masih sering melakukan pengobatan tradisional.

"Kalau lagi jadi, kekejetan (kejang), kayak yang disembelih suaranya, pas nggak lama pasti keluar darah. Kalau sekarang mah jadinya kebanyakan pas di rumah, pas tidur, jarang kalau lagi di luar," bebernya.

Dadang bersama keluarga saat ini menempati kontrakan dengan ukuran 3X3 meter. Biaya kontrakannya Rp 300 ribu per bulan.

"Iya alhamdulillah bisa ngontrak di sini udah sekitar 5 bulan. Dulu saya punya rumah di Cibangoak, namun saya sakit-sakitan. Akhirnya rumah dijual dipakai berobat, terus sekarang saya ngontrak," ucap Dadang.

Dia berharap saat ini bisa menerima bantuan dari pemerintah. Pasalnya untuk kebutuhan sehari-hari dirinya tidak mampu.

"Waktu kampung sebelumnya suka dapet bantuan, sekarang mah nggak pernah dapet. Ya kalau pengen mah, pengen dapet bantuan. Tapi da gimana pemerintah kan," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(ral/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads