Menahan Dinginnya Malam Kota Bandung Demi Keluarga di Kampung

Malam Mencari Cuan

Menahan Dinginnya Malam Kota Bandung Demi Keluarga di Kampung

Bima Bagaskara - detikJabar
Sabtu, 17 Des 2022 09:00 WIB
Agus, penjual cuanki di Bandung.
Agus, penjual cuanki di Bandung. (Foto: Bima Bagaskara/detikJabar)
Bandung -

Hawa dingin menyelimuti Kota Bandung ketika jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Jalanan pun masih disibukkan dengan lalu lalang kendaraan yang dilintasi kendaraan. Sepertinya kendaraan-kendaraan ini hendak pulang menuju arah rumah.

Namun di balik hiruk pikuk jalan yang perlahan mulai mereda itu, masih ada mereka yang berjuang dalam saat malam. Seperti para pedagang di sepanjang Jalan Surapati, Kota Bandung yang masih bersemangat menanti pembeli.

Salah seorang di antara mereka bernama Agus, penjual cuanki yang menjajakan dagangannya di dekat Masjid Pusdai Jabar. Di sana Agus dan beberapa pedagang lainnya masih setia menunggu orang-orang yang ingin membeli dagangannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria berusia 50 tahun ini harus menahan dinginnya malam Kota Bandung. Sudah 10 tahun Agus berjuang demi menghidupi keluarganya di kampung halaman dengan berjualan cuanki. Agus menceritakan awal mula dirinya menjadi penjual cuanki di Bandung.

"10 tahun lalu ke sini (Bandung) buat jualan cuanki. Tadinya mah kerja bangunan di Tasik," kata Agus membuka perbincangan dengan detikJabar belum lama ini.

ADVERTISEMENT

Agus yang merupakan warga Garut ini datang ke Bandung dengan tujuan mencari nafkah demi istri dan anak-anaknya di kampung halaman. Ia mengungkapkan harus berhenti dari pekerjaan lamanya karena kondisi fisik yang semakin renta.

"Udah nggak kuat (jadi kuli bangunan)," ujarnya.

Di Bandung, Agus tinggal di rumah kontrakan yang dihuni rekan-rekannya sesama penjual cuanki. Tiap hari, Agus mulai berjualan di sekitar Masjid Pusdai sejak pukul 14.00 WIB. Agus bertahan di sana setidaknya sampai pukul 24.00 WIB.

Agus, penjual cuanki di Bandung.Agus, penjual cuanki di Bandung. Foto: Bima Bagaskara/detikJabar

Ia mengungkapkan, suka dan duka dialami selama berjualan cuanki di Bandung. Mulai dari dagangannya yang ludes terjual hingga hujan turun yang membuatnya harus berteduh dengan sebuah payung.

"Kalau hujan itu ya paling pakai ini (sambil tunjuk payung). Dingin tapi mau gimana lagi," ungkapnya.

Saat ini, kata Agus, istri dan anaknya ada di kampung. Ia rela meninggalkan keluarga tercintanya demi bisa memberikan nafkah. Demi keluarganya, Agus harus rela menghemat pengeluaran di Bandung. Dalam sehari, Agus rata-rata menjual 20 mangkok cuanki.

Uang hasil berjualan ia simpan hingga dirasa cukup. Kemudian Agus mengirim uang itu kepada istrinya untuk kebutuhan biaya sekolah anak ketiga dan keempatnya. Namun Agus menuturkan, untuk bisa mengirim uang ke kampung, ia tidak bisa memastikan kapan.

"Kalau ngirim nggak tau (pasti), seadanya uang aja. Itu juga nggak banyak paling Rp 400-500 ribu," ucap Agus.

Agus juga mengaku saat ini anak pertamanya ada di Bandung untuk ikut berjualan cuanki. Sementara anak keduanya, bekerja di Cianjur. Istrinya, bekerja serabutan di kampung sembari mengasuh anak keempatnya. Anak ketiga Agus sendiri diketahui masih sekolah di sebuah pondok pesantren.

Masih harus bekerja di usia senja Agus tentu merasa lelah. Namun ia tak punya pilihan selain terus berjuang demi keluarga di kampung halaman.

"Lumayan capek jualan, apalagi malam kan. Tapi jalanin aja," tutup Agus.

(bba/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads