Kampung Pelangi 200 sempat menjadi kampung wisata yang cukup laris diburu wisatawan di Kota Bandung. Keeksotisannya waktu itu, membuat pelancong penasaran untuk menambah koleksi unggahan mereka di media sosial, disamping memang lokasinya ramah untuk kantong wisatawan.
Namun, itu merupakan cerita dulu. Semenjak diresmikan pada 2018 setelah mendapat bantuan dari salah satu perusahaan cat, keeksotikan Kampung Pelangi 200 kini sudah pudar. Kampung tersebut kembali ke asalnya sebagai perkampungan yang padat.
Kini, yang tersisa hanya padatnya deretan rumah yang menjulang di kawasan perbukitan tersebut. Dan yang tetap ada, adalah deretan anak tangga yang sekaligus menjadi akses warga di perkampungan itu untuk beraktivitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akses utama warga di Kampung Pelangi 200 selama ini memang mengandalkan jalan Gang Bapak Ehom. Jalanan ini lalu disambungkan oleh sebuah jembatan yang berada tepat di atas aliran Sungai Cikapundung. Setelah tiba di Kampung Pelangi, pemandangan '1.000 anak tangga' ini bakal terlihat dengan jelas.
Deretan anak tangga berbahan adukan semen ini menjulang hingga ke atas perbukitan. Warga biasanya menggunakan akses tersebut untuk berpergian karena tersambung dengan Jalan Sangkuriang Dalam di Kelurahan Dago. Namun, akses tangga ini tidak bisa dilalui kendaraan bermotor.
Untuk bisa melaluinya, dibutuhkan perjuangan ekstra. Pasalnya, deretan anak tangga di Kampung Pelangi 200 ini bakal menguras tenaga karena konturnya yang menanjak curam. Makanya, terkadang warga setempat jarang menggunakan akses tangga ini sebagai opsi pertama mereka ketika bepergian.
"Mobilitas warga di sini mah kebanyakan lewatnya ke jembatan sini, 70 persen lah yang makenya. Tapi kalau yang rumahnya di atas, kebanyakannya ya jalannya lewat atas aja. Kalau yang ke sini kebanyakan yang pake motor," kata Sunengsih, Ketua RT 10/RW 12 di Kampung Pelangi 200 saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
![]() |
Selain konturnya yang ekstrem, deretan anak tangga di Kampung Pelangi 200 juga begitu sempit. Lebarnya tak lebih dari 70 centimeter. Sehingga, ketika ada yang berpapasan melewati anak tangga ini, salah satunya harus mengalah ketika melintas.
"Karena jalannya juga sempit, jadi harus ngalah dulu. Biasanya yang turun didahuluin, biar sama-sama bisa lewat," tutur Sunengsih.
Keberadaan '1.000 anak tangga' di Kampung Pelangi 200 ini kata Sunengsih, juga menjadi salah satu spot favorit wisatawan yang datang ke sana untuk berswafoto. Sebab sewaktu masih dipenuhi warna-warni, deretan tangga ini juga tak ketinggalan dicat warga untuk menarik perhatian orang yang datang.
Meski sekarang pemandangan itu tak lagi ditemukan, namun Sunengsih merasa betah tinggal di Kampung Pelangi 200. Apalagi jika bukan karena suasananya yang masih terasa kental perkampungan, ditambah deru suara arus dari aliran Sungai Cikapundung yang membuatnya bisa tidur lebih nyenyak
"Betah a di sini mah, karena adem enggak bising. Apalagi kalau malem denger suara air sungai, tidurnya juga nambah nyenyak jadinya," tutur Sunengsih seraya diiringi tertawa kecil dalam perbincangan tersebut.
(ral/yum)