Nyai Itih, Gundik Asal Cimahi yang Buat Jurnalis Belanda Tergila-gila

Lorong Waktu

Nyai Itih, Gundik Asal Cimahi yang Buat Jurnalis Belanda Tergila-gila

Whisnu Pradana - detikJabar
Minggu, 20 Nov 2022 11:45 WIB
Artikel koran yang menunjukkan wajah Itih, Walraven dan anak-anaknya
Itih (Foto: Potongan koran Algemeen Handelsblad 26 Oktober 1966)
Cimahi -

Cimahi punya segudang sejarah mengenai perjuangan merebut kemerdekaan. Tak cuma kisah-kisah heroik, kota kecil yang baru berdiri pada 2001 silam ini juga punya cerita sisi lain yang agaknya menarik diulas.

Salah satunya sejarah mengenai Itih. Sebuah nama yang asing, terdengar kampungan dan tidak modern. Namun Itih jadi saksi bisu bagaimana kaum perempuan zaman dulu amat menderita karena perlakuan orang Belanda yang menjejakkan kaki di tanah Indonesia.

Itih merupakan nama seorang perempuan yang diketahui merupakan warga Cigugur Tengah, Kota Cimahi. Berdasarkan sumber jurnal STEKOM , ia lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1969.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas apa yang menarik dari sosok Itih? Itih ternyata merupakan seorang gundik. Merujuk pada penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, gundik adalah istri tidak resmi; selir; 2 perempuan piaraan (bini gelap).

Pada tahun 1919, Itih dipilih oleh seorang pria Belanda bernama Wilem Walraven sebagai gundik. Pria kelahiran 1887 itu datang ke Indonesia (dulu Hindia-Belanda) secara sukarela setelah bergabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dan bertolak ke Indonesia pada tahun 1915.

ADVERTISEMENT

Bertahun-tahun tinggal di Indonesia dan melakoni berbagai profesi, sampai akhirnya ia menjadi seorang pengarang dan wartawan majalah Belanda. Ia menggunakan nama samaran Maarten Cornelis, yang juga disingkatnya sebagai MC.

Sementara dari cerita yang ditulis oleh Arie Brand, dalam sudut pandang Wilem Walraven, ia pertama kali melihat Itih sekitar tahun 1916.

Ia melihat Itih di warung tentara pamannya di Cimahi. Gubuk bambu ini berdiri di halaman sempit tak beraspal dari sebuah toko jompo tempat seorang Afrika tinggal dengan banyak anak.

"Saya datang ke sana hampir setiap hari dan Itih hampir selalu ada. Saya tidak dapat berbicara dengannya karena saya hanya tahu sedikit bahasa Melayu dan bahkan bahasa Sunda," tulis Arie.

Dalam tulisannya yang cukup panjang, ada satu penjelasan yang singkat, menyebutkan jika Walraven dan Itih akhirnya tinggal bersama di Banyuwangi. Di situ juga anak pertama mereka lahir. Saat itu Walraven sudah berusia sekitar 30 tahunan sementara Itih berusia sekitar 20 tahunan.

Pegiat sejarah Cimahi, Machmud Mubarok, berkisah jika Itih menjadi gundik tak lepas dari posisi Cimahi yang pada masa penjajahan Belanda menjadi pusat kegiatan militer. Buktinya masih berdiri hingga tahun 2022, yakni banyaknya pusat pendidikan tentara, markas, hingga bangunan berarsitektur Belanda yang difungsikan sebagai kantor militer.

"Jadi kebetulan dulu itu Cimahi jadi pusat militer. Kebetulan banyak tentara Belanda itu tidak membawa istri mereka, jadi sudah biasa dulu orang pribumi termasuk Cimahi ini yang asalnya babu diambil jadi gundik atau nyai-nyai," ujar Machmud kepada detikJabar, Sabtu (19/11/2022).

Saat itu Itih merupakan seorang gadis asal Cigugur Tengah, Cimahi, yang bertemu dengan Walraven. Dari pertemuan itu tumbuh benih-benih cinta dari sang meneer. Walraven tak mau kehilangan momentum, sampai akhirnya ia memutuskan menjadikan Itih sebagai gundiknya.

"Akhirnya Itih jadi gundik, dengan penyematan nyai atau nyi di depannya. Padahal dulu pandangan orang Belanda sebetulnya hina karena memiliki gundik, dengan alasan tidak sederajat atau alasan lainnya. Tapi Wilem ini nggak peduli, karena saking cintanya kemudian Itih dibawa ke Belanda. Kalau tidak salah seperti itu," ujar Machmud.

Padahal lazimnya, gundik meneer Belanda bakal ditinggalkan termasuk tak punya hak untuk mengasuh anak yang dilahirkan. Namun berbeda dengan yang dialami Itih, karena ia diboyong oleh Walraven ke tanah kelahirannya beserta anak-anak yang dilahirkan Itih.

"Jadi anak-anak itu tidak diakui, kecuali atas persetujuan pengadilan dan si ibunya itu tidak memiliki hak pengasuhan. Jadi banyak kejadian, nyai-nyai itu hanya untuk mengurus rumah, hamil, melahirkan, lalu ditinggal. Nah anaknya dibawa bapaknya ke Belanda," kata Machmud.

"Kalau Nyi Itih ini agak unik. Karena suaminya (Walraven) cinta banget sama dia, ya akhirnya Nyi Itih kemudian dibawa ke Belanda," imbuhnya.

Artikel koran yang menunjukkan wajah Itih, Walraven dan anak-anaknyaArtikel koran yang menunjukkan wajah Itih, Walraven dan anak-anaknya Foto: Potongan koran Algemeen Handelsblad 26 Oktober 1966

Sayangnya, kata Machmud, ia tak punya referensi lebih banyak mengenai garis keturunan Itih dan jejak sejarah Itih yang masih tertinggal di Cimahi.

"Setahu saya sampai sekarang nggak ada jejak Nyi Itih di Cigugur Tengah, garis keturunannya siapa juga nggak tahu. Ya itu tadi, karena anak pribumi dari Wilem kan nggak ada. Lalu apakah dia (Nyi Itih) punya saudara atau tidak kan kita nggak tahu juga sebetulnya," ucap Machmud.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads