Cerita dari Penyintas Letusan Galunggung: Setahun di Pengungsian

Lorong Waktu

Cerita dari Penyintas Letusan Galunggung: Setahun di Pengungsian

Faizal Amiruddin - detikJabar
Rabu, 16 Nov 2022 12:00 WIB
Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982
Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 (Foto: Dokumentasi Pos Pemantau Gunung Galunggung)
Tasikmalaya -

Warga Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya menjadi saksi betapa dahsyatnya amukan Gunung Galunggung yang meletus pada 1982 silam. Mereka pun berlari melarikan diri ke tempat aman, hingga akhirnya menepi di pengungsian.

Setelah kejadian di malam itu, Hada (75) dan ribuan warga lainnya memulai hari-hari sebagai pengungsi. Dia terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian.

"Saya kebagian di Cisayong, pokoknya hampir semua tanah lapang di wilayah Kota Tasik dijadikan lokasi pengungsian," kata Hada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dokumen laporan dari Satkorlak Jawa Barat pada hari pertama letusan jumlah penduduk yang mengungsi sekitar 35.000 orang. Mereka adalah penduduk dari lebih 20 desa yang tersebar di kaki gunung Galunggung.

"Hampir setahun kami hidup di pengungsian, kami tak boleh kembali ke kampung. Karena dijaga tentara, mungkin itu dilakukan untuk menghindari penjarahan," kata Hada.

ADVERTISEMENT

Meski demikian dia tetap bisa masuk karena bisa membuktikan bahwa dia adalah penduduk kampung Sinagar. "Harus izin dulu, itu juga tidak lama. Dari situlah kami tahu rumah kami terbakar, kemudian saya juga ingat sempat pulang ke kampung untuk membawa ayam," kata Hada.

Ketegasan petugas ketika itu sangat ketat. Menurut Hada untuk menghalau warga agar tak kembali ke rumahnya dilakukan dengan melepaskan tembakan ke udara.

"Kan semua hampir rata oleh endapan pasir, jadi walau pun jauh terlihat orang yang mau masuk kampung. Itu sudah tak lagi diteriaki, tapi diusir pakai tembakan. Tak ada yang berani kembali," kata Hada.

Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 Foto: Dokumentasi Pos Pemantau Gunung Galunggung

Hal itu dibenarkan pula oleh Ceceng (60) warga Desa Linggarjati Kecamatan Sukaratu. Dia dan keluarganya harus pasrah tinggal di pengungsian dengan berbagai penderitaan yang dialaminya. "Hampir setahun di pengungsian, tak ada penghasilan. Segalanya darurat," kata Ceceng.

Meski demikian Hada dan Ceceng mengaku tak sampai kelaparan. Karena pasokan makanan diberi setiap hari oleh pemerintah. "Saya bahkan suka ikut membantu memasak di dapur umum PMI," kata Hada.

Dalam makalah berjudul Penanganan Bencana Letusan Gunung Galunggung 1982-1983 yang ditulis oleh Gregorius Andika Ariwibowo, disebutkan bahwa dalam pembiayaan dapur umum ini PMI menyediakan dana sekitar US $ 2.000.000 atau Rp 1,3 miliar (kurs pada saat itu).

Data yang didapat dari dokumen laporan Menteri Sosial pada tahun 1982 ini menyebutkan dana ini sebagian
didapatkan dari sumbangan negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga kemanusiaan dunia seperti UNICEF, Palang Merah Intemasional, UNDP serta lembaga lainnya.

Bantuan-bantuan yang diberikan ini bukan saja sebatas pada bantuan pangan, namun juga bantuan-bantuan perlengkapan dan peralatan teknik.

Selain soal dapur umum, Hada juga mengisahkan tentang pembangunan bedeng-bedeng. Lokasi yang semula tenda-tenda darurat, diubah dengan membangun bedeng.

Ini karena proses pengungsian memakan waktu yang lama, karena saat itu tidak ada kejelasan kapan letusan Galunggung akan reda. "Iya di pengungsian dibangun bedeng. Kita para pengungsi juga ikut membantu," kata Hada.

Pembangunan bedeng pengungsian ini dituliskan oleh Gregorius Andika Ariwibowo sebagai upaya penanggulangan fisik dalam upaya penanganan bencana letusan Gunung Galunggung.

Berdasarkan dokumen laporan Bupati Tasikmalaya bedeng-bedeng ini menampung sekitar 27.500 warga atau sekitar 5500 KK.

Bedeng-bedeng ini masing-masing terdiri dari 10 kamar dengan ukuran per kamar sekitar 3 x 3 meter yang per karnar dihuni oleh satu
keluarga.

Di setiap bedeng ini disediakan sarana dapur umum dan sarana kamar mandi umum. Kondisi kamar mandi umum ini sangat memprihatinkan sebab pada awalnya satu kamar mandi umum ini digunakan oleh sekitar 50 orang pengungsi.

Namun setelah dibantu oleh ILO, jumlah kamar mandi bertambah. Satu kamar mandi dapat digunakan oleh 20 orang. Di lokasi bedeng-bedeng ini juga disediakan sarana kesehatan yang dikelola oleh Palang Merah Indonesia (PMI).

Program Padat Karya Pengungsi

Tinggal di pengungsian tanpa penghasilan berbulan-bulan, kata Hada mulai membuat stres para pengungsi. "Setelah ada bedeng terus ada proyek. Jadi pengungsi itu dipekerjakan di proyek-proyek. Ada yang bikin tanggul, ada yang berkebun. Kalau saya milih berkebun," kata Hada.

Kesaksian Hada ini juga selaras dengan dokumen laporan Bupati Tasikmalaya pada 1982 yang menyebutkan mobilisasi para pengungsi untuk bekerja di proyek-proyek bencana ini dinamakan program padat karya bencana alam dan program padat karya gotong royong.

"Selain sebagai upaya meredam konflik program ini juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat," demikian bunyi laporan Bupati tersebut.

Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 Foto: Dokumentasi Pos Pemantau Gunung Galunggung

Proyek milik pemerintah pusat yang dikerjakan oleh para pengungsi Galunggung adalah pembangunan Waduk Saguling di Kabupaten Bandung, proyek pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR), serta proyek-proyek irigasi di beberapa daerah.

Selain itu laporan Menteri Sosial pada tahun 1982 menyebutkan International Labour Organization (ILO) yang bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum ikut membangun sarana-sarana publik seperti tanggul penahan lahar dingin, perbaikan waduk dan sarana irigasi, perbaikan bedeng pengungsian (shelter), serta penyediaan fasilitas air bersih.

Kemudian Food and Agricultural Organization (FAO) juga ambil bagian dalam usaha perbaikan sawah-sawah yang rusak akibat guguran abu vulkanik dan awan panas. Proyek-proyek itu melibatkan atau memberdayakan para pengungsi.

Program Transmigrasi

Pengalaman lain yang diutarakan Hada dan warga kaki Galunggung lainnya adalah adanya tawaran transmigrasi dari pemerintah. "Kemudian ada yang ditawari transmigrasi ke Jambi, disana diberi lahan garapan 2 hektar," kata Hada.

Namun ketika itu Hada memilih menolak tawaran transmigrasi tersebut. Dia tak rela meninggalkan kampung halaman yang dia cintai. "Saya menolak, karena anak saya masih kecil. Waktu itu baru 3 tahun. Kalau adik saya berangkat, dia nekat pergi transmigrasi," kata Hada.

Adik Hada yang bernama Dedi itu bahkan sampai saat ini tinggal di Jambi, di lahan transmigrasi yang diberi oleh pemerintah. Dedi bisa bertahan dan tergolong sukses mengolah lahan di Jambi. "Dia mengurus kebun hektaran, kerjaannya mancing, "ngeunah pisan". Baru kemarin saya menelepon dia. Alhamdulillah dia bisa bertahan di perantauannya," kata Hada.

Ikhwal program transmigrasi bagi pengungsi erupsi Galunggung juga dibahas dalam makalah Gregorius Andika Ariwibowo yang mengutip dari data Satkorlak. Disebutkan para pengungsi yang ditransmigrasikan ini berasal dari dua wilayah Kabupaten yakni Tasikmalaya dan Garut.

Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 Foto: Dokumentasi Pos Pemantau Gunung Galunggung

Dari Tasikmalaya jumlah pengungsi yang ditransmigrasikan sebanyak 3.390 KK atau sekitar 14.290 jiwa. Sedangkan dari Kabupaten Garut yang ditransmigrasikan sebanyak 2.535 KK atau sekitar 11.920 jiwa.

Transmigrasi diambil sebagai sebuah solusi untuk menjawab keresahan dan potensi konflik yang dirasakan para pengungsi. Masyarakat yang selama ini hidup dalam lingkungan komunal yang homogen, tetiba harus hidup berbaur dan saling berinteraksi dengan masyarakat antar desa. Hal ini juga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai persoalan sosial di pengungsian

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads