Perundingan antara Belanda dan Indonesia di Gedung Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat merupakan salah satu peristiwa bersejarah. Pertemuan pada 11-15 November 1946 itu berkaitan erat dengan status kemerdekaan Indonesia.
Setelah Soekarno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, pemerintah republik harus melewati jalan terjal untuk mendapatkan status kemerdekaannya. Perundingan dengan pihak Belanda terus dilakukan, namun sampai tahun 1946 kesepakatan antara kedua negara belum mencapai titik temu.
Gedung Linggarjati yang terletak di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan dipilih sebagai tempat paling netral. Sebab, Kota Batavia atau Jakarta masih dikuasai Belanda. Sedangkan Soekarno dan Hatta menawarkan pertemuan tersebut diadakan di Yogyakarta, yang saat itu menjadi Ibukota sementara Republik Indonesia (RI).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Staf Juru Pelihara Gedung Perundingan Linggarjati Agus Suparman mengatakan usulan untuk dilangsungkannya pertemuan kedua negara di Linggarjati itu berasal dari gagasan Maria Ulfah Santoso. Putri mantan Bupati Kuningan, R Mohamad Ahmad yang pernah menjabat pada periode 1921-1940.
"Karena antara Yogyakarta dengan Jakarta jaraknya terlalu jauh, jadi mengambil rujukan dari Ibu Maria Ulfah untuk mengadakan pertemuan di Linggarjati," kata Agus kepada detikJabar, Kamis (10/9/2022).
Di tahun 1946, Gedung Linggarjati awalnya difungsikan sebagai penginapan. Kala itu, bangunan tersebut bernama Hotel Merdeka dan menjadi satu-satunya hotel di Kabupaten Kuningan.
Agus menceritakan, perundingan di Linggarjati diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang bertanggungjawab sebagai ketua delegasi Indonesia. Di pihak Belanda dipimpin Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn. "Perundingan itu dimediasi oleh Lord Killearn asal Inggris. Perundingan ini menghasilkan 17 pasal," katanya.
Adapun pokok utama dari hasil perundingan di Linggarjati yaitu Belanda mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa serta Madura, dan dibentuknya Republik Indonesia Serikat.
Di tempat terpisah, Dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tendi menilai Maria Ulfah Santoso sebagai tokoh penting dibalik peristiwa perundingan di Linggarjati. Sebab, Maria dianggap telah berkontribusi dalam memberikan opsi kepada Sutan Sjahrir agar mengadakan pertemuan di wilayah Kuningan.
"Ketika ada pemilihan tempat perundingan yang dianggap netral, maka dipilihlah Linggarjati sebagai lokasi pertemuan karena sudah dijamin keamanannya," ungkap Tendi.
Kendati sangat berjasa atas berjalan lancarnya perundingan di Linggarjati, Tendi sangat menyayangkan bahwa tokoh seperti Maria ini jarang diketahui publik. Apalagi sebagai mantan Menteri Sosial pada zaman Orde Lama, Maria ikut berkontribusi dalam meletakkan dasar pondasi di Kabinet Sjahrir.
"Maria Ulfah turut mempengaruhi kenapa Linggarjati dipilih jadi tempat perundingan. Pada saat itu Sjahrir adalah kawan dekat dari Maria," ucap dia.
(mso/mso)