Kisah Pesantren Ath-Thaariq menjadi contoh nyata dalam mewujudkan ketahanan pangan di lingkungan pondok pesantren. Berangkat dari semangat Islam Rahmatan lil alamin dan penyelamatan lingkungan, pesantren yang menerapkan agro teknologi asal Garut ini ditabsihkan sebagai representatif family farming decade oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tahun 2018-2028.
Jalan setapak terhampar ketika detikJabar menuju lokasi pesantren Ath-Thaariq yang berada di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Walau berada dekat kantor Bupati Garut, pesantren ini terletak di tengah persawahan, akses menuju pesantren ini hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dengan jarak kurang lebih 100 meter dari jalan utama.
Di sana, detikJabar menemui Faisal Syahril Sidiq (25) salah seorang santri yang ditugaskan mengurus berbagai macam tanaman dan ternak di Ath-Thaariq. Pria dengan senyuman yang ramah itu mengajak detikJabar berkeliling melihat berbagai macam tanaman dan ternak yang dibudidayakan di lingkungan pesantren.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beragam tanaman ditanam di sana mulai dari beragam palawija seperti singkong, kacang panjang, talas, oyong, umbi ganyong, sorghum dan lainnya. Rupa-rupa sayuran dan buah seperti salada, buncis, tomat ceri, labu, kelapa hingga tanaman herbal macam temulawak, temuireng, rosela, telang, daun salam, kenikir, komprey, randa midang dan lainnya.
Dilingkup oleh persawahan, pesantren ini bisa memproduksi 3,5 ton beras dari sawah yang memiliki luas kurang lebih 4.500 meter persegi. Di sana juga terdapat sarana pemuliaan tanah untuk kompos, pupuk cair dan juga budi daya maggot.
Selain itu, ada juga kolam ikan nila dan lele yang tak hanya diambil ikannya, tetapi airnya juga dimanfaatkan untuk keperluan menyiram tanaman. Pemberian pakan ikan pun diselingi dengan keong sawah yang dibudidayakan dalam kolam, keong itu akan direbus terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ikan.
"Saya tertarik datang ke sini, karena ini gudangnya ilmu agama dan pertanian. Jadi banyak hal yang saya dapatkan di pesantren ini. Itu jadi acuan, selain ilmu agamanya, pertanian di sini juga sangat dikedepankan, pokoknya tentang alam dan lingkungan bagaimana menjaga, merawat, dan menghasilkan antara alam itu sendiri," ujar Sidiq saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
![]() |
Sudah tiga tahun Sidiq menimba ilmu di pesantren ekologi ini, selama itu ia mengonsumsi pangan yang berasal di lingkungan pesantren. Tiap komoditas diklasifikasikan ke dalam 42 zona di atas lahan 1 hektare milik pesantren.
"Untuk karbohidrat ada dari beras, kita selingi juga dengan jagung atau sorgum. Namun, karena ini musim penghujan terus, paling kita yang paling banyak itu dari talas atau umbi ganyong, karena setiap musim ada dan dia tidak terpaut dengan iklim," ujarnya.
Sidiq pun mengajak detikJabar melihat aneka tanaman herbal yang dibuat teh seperti telang. Di sana terdapat fasilitas untuk mengeringkan teh dan pengemasan. Teh-teh dari bunga yang berkhasiat menyembuhkan keluhan medis itu pun dijual di gerai-gerai penjual komoditas organik di Jawa Barat.
Setiap hasil pangan akan dikonsumsi oleh penghuni Pondok Pesantren, sementara hasil yang berlebih atau surplus dijadikan komoditas untuk dijual kepada komunitas lain atau jejaring pesantren.
![]() |
Walau dibekali ilmu pertanian dengan paradigma keanekaragaman hayati, namun urusan agama tetap menjadi yang utama di pesantren tersebut. Saat ini, ada sekitar 15 santri yang bermukim sambil menimba ilmu agama dan pertanian di Ath-Thaariq.
"Agendanya biasanya Subuh, jadi setelah Subuh siap-siap sekolah. Ada yang kuliah juga, habis Maghrib kumpul semua sampai ke setengah 10-an, yang mungkin ada waktu luang, sebelum sekolah atau kuliah kita siram tanaman, kalau musim hujan kita cabuti rumputnya sore," katanya.
Berawal dari Keresahan hingga Menanam untuk Tuhan
Berdirinya pesantren ini tak lepas dari sosok aktivis Nissa Wargadipura (50), wanita yang masuk dalam deretan 11 tokoh inspiratif Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) itu mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq karena resah melihat kondisi para petani di Sagara, Garut yang terlilit utang dan menjual lahan garapannya karena tak memahami soal tata produksi.
Sekedar diketahui, Nissa merupakan salah satu pendiri dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Ia telah malang melintang melakukan advokasi kepada petani-petani yang berhadapan dengan kasus agraria, mengubah paradigma dari pupuk kimia ke organik hingga memberikan pemahaman kesetaraan gender bagi kaum hawa yang bercocok tanam.
Ia pun memberikan kritik keras terhadap program Revolusi Hijau, yang dinilainya merusak tatanan sosial, ekologi dan keanekaragaman hayati karena para petani hanya diperkenankan menanam satu jenis tumbuhan saja seperti contohnya pohon karet yang diimplementasikan di 2.500 hektare lahan di Sagara Garut untuk digarap 700 kepala keluarga.
"Ternyata karet itu harus menunggu lama, 7-8 tahun baru keluar getahnya. Bayangkan selama 8 tahun mereka harus mengutang kanan dan kiri, karena tanam palawija enggak bisa, tela enggak bisa, karena akan mengganggu produktivitas karetnya sendiri. Lalu jalan keluarnya apa? lahannya dijual, karena mereka selama 8 tahun harus menghadapi situasi utang yang selama ini didampingi oleh Teh Nissa," katanya.
![]() |
Setelah itu, Nissa mundur dari Serikat Petani Pasundan kemudian bersama suaminya mengorganisir suatu laboratorium alam untuk pertanian dengan pendekatan holistik pada tahun 2008. Laboratorium alam itu diwujudkan dalam bentuk Pesantren Ath-Thaariq dengan visi rahmat bagi semesta pada 2008 silam.
"Dari kegelisahan itu maka kemudian mendirikan Ath-Thaariq, dimana menjadi pesantren dengan menekankan kepada planting for God (menanam untuk Tuhan), kan Revolusi Hijau itu antitesis dari semesta. Jadi Revolusi Hijau itu merusak tatanan, manusia jadi kapitalis, itu sesuatu yang ditentang oleh Tuhan," tuturnya.
Ajak Pemuda Mengembangkan Desa hingga Dilirik FAO PBB
Lewat kurikulum pada visi Rahmatan lil alamin, transfer ilmu pertanian yang berorientasi pada ekonomi dan penyelamatan ekologi pun diberikan kepada para pemuda di desa-desa di Garut.
"Desa-desa banyak ditinggalkan, banyak anak-anak petani tidak ingin bertani, karena apa? karena Revolusi Hijau itu, maka desa tidak berkembang, mereka jadi tertinggal. Ini ingin kita kembalikan lagi, maka saat mereka datang ke Ath-Thaariq tidak membawa bekal, pulangnya membawa bekal. Bukan hanya mendapatkan hulu hilir pendidikan di desa, mereka juga akan mencintai desa dan hidup di desa," katanya.
"Kita juga mencari skema bagaimana lahan garapan ini tidak berbasis mono kultur karena Revolusi Hijau tapi Biodiversity, tapi menaikkan ekonomi dan ekologi," tuturnya melanjutkan.
Pesantren ini pun tak hanya menerima santri dari daerah setempat, tetapi juga kerap didatangi oleh mahasiswa Kampus Merdeka maupun organisasi-organisasi yang memiliki kepedulian terhadap penyelamatan alam dan pangan. Tak hanya dari dalam, bahkan dari luar negeri sekali pun.
"Santri itu hanya sedikit tapi yang reguler yang banyak, kelas reguler itu satu minggu dia belajar dari mana, contohnya dari Uniga, kampus merdeka, anak-anak Bestari, santri-santrinya dari luar, yang menetap itu sedikit itu hanya sekitar 15 orang. tapi kebanyakan kita berhadapan dengan banyak orang, komunitas pembelajar, baru datang rombongan FAO untuk belajar di kita," ujarnya.
Soal visi Rahmatan lil alamin itu, para santri diharapkan bisa mendapatkan tiga keadilan selama menimba di Ath-Thaariq, yakni keadilan sosial, keadilan gender dan keadilan lingkungan.
"Jadi jelas pendekatannya diturunkan lagi planting for God lagi itu namanya agro ekologi jadi itu sistem untuk mempertemukan ilmu kampung dan ilmu kampus, diturunkan lagi lebih spesifik dengan memakai kearifan lokal buruan bumi dan kebon taleun (kebun pekarangan) tapi sistemnya pengelolaan berbasis budaya orang Sunda, zona-zona ini yang kemudian diperkuat, ada zona sayuran non popular jotang, jonghe, kelor, kersen, roway-rowayan ada banyak zona," katanya.
![]() |
Karena geliat yang ditunjukkan, Pesantren Ath-Thaariq diganjar sebagai representatif family farming decade oleh FAO PBB. Bahkan, orang-orang FAO Indonesia sempat mendatangi Ath-Thaariq.
"Ath-Thoriq jadi representatif FAO Indonesia di rentang 2018-2028 untuk Family Farming," ujarnya.
Siap Hadapi Potensi Resesi 2023
Nissa optimistis, pesantren yang diampunya memiliki sistem dan bekal yang cukup untuk menghadapi badai resesi yang mulai mengancam sejumlah negara di dunia. Sejumlah pakar menakar, resesi akan membuat harga makanan dan minuman melonjak.
"100 persen kami siap karena kami tidak belanja, kami punya kelapa sendiri, kami punya ikan sendiri, telur sendiri, ayam sendiri, beras sendiri. beras kami 3 ton setengah padahal cuma 4500 meter persegi untuk 15-30 orang mau dimakan seperti apa?," katanya.
![]() |
Selain memiliki hasil panen padi sebanyak 3,5 ton, Nissa juga menekankan agar sumber karbohidrat divariasikan dengan mengonsumsi tanaman lainnya seperti oyong, sukun, singkong atau umbi-umbian lainnya.
"Karbohidrat kami tidak hanya beras tapi juga ada sukun, singkong jadi aman 1.000 persen. kami punya baligo, labu kuning, kami punya oyong, kalau mau kuah santan tinggal petik bikin sendiri, kami sangat aman, punya porang, talas, punya kacang panjang, punya eceng genjer itu semua aman," pungkasnya.
(yum/yum)