Kala Mesin Digital Menggeser Perajut di Kampung Rajut Binong Jati

Kala Mesin Digital Menggeser Perajut di Kampung Rajut Binong Jati

Sudirman Wamad - detikJabar
Minggu, 30 Okt 2022 09:30 WIB
Sentra Rajut Binong Jati Bandung.
Sentra rajut Binong Jati (Foto: Sudirman Wamad)
Bandung -

Pemkot Bandung telah menetapkan Kampung Rajut Binong Jati sebagai Kampung Wisata Kreatif. Kampung rajut ini menjadi denyut nadi masyarakat Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung.

Sudah puluhan tahun masyarakat Binong menggantungkan hidup dengan merajut. Memproduksi pakaian, syal dan sebagainya. Para perajut menggunakan mesin konvensional. Panjangnya sekitar satu meteran, ada juga yang berukuran besar.

Perlahan mesin rajut manual atau konvensional itu ditinggalkan. Ya, perkembangan teknologi adalah faktornya. Sebagian pengusaha rajut menjual mesin-mesin konvensionalnya. Mereka menggantinya dengan mesin rajut komputer atau digital, mesin rajut yang lebih canggih. Cukup dengan pencet tombol dan atur pola. Beda dengan konvensional, tangan harus bergerak mengatur rajutan.

Transformasi dari konvensional ke digital itu salah satunya dilakukan rumah produksi rajut Rizky Fashion. Toko rajut ini tersebar di dua tempat.

"Mulai pakai mesin rajut komputer itu tahun 2020. Awalnya hanya dua. Waktu itu memang masih dominan menggunakan mesin manual," kata Salsa selaku admin Rizky Fashion saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

Salsa mengatakan produksi menggunakan mesin rajut komputer memiliki keunggulan tersendiri. Salsa menilai kualitas rajutan lebih rapi dan bagus ketimbang menggunakan mesin manual. Pemesanan pun kian meroket setelah menggunakan mesin. Walhasil, pemilik toko menambah mesin anyar untuk meningkatkan kapasitas produksi.

"Mulai tambah mesin rajut komputer dan makin banyak itu 2021. Sekarang total ada 24 unit," kata Salsa.

Salsa mengatakan produksi dan penjualan produk rajutan, seperti pakaian tergantung dari pemesanan. "Rata-rata bisa 700 pis per pekan, atau sehari bisa seratusan pis. Tergantung sih, kadang banyak juga," kata Salsa.

Salsa menceritakan pandemi COVID-19 tak berpengaruh signifikan terhadap penjualan produk rajut. Penyusutan prokdusi dan penjualan tak begitu besar. "Karena kita juga menjual secara online. Jadi, sangat membantu. Mayoritas penjualan dari online juga waktu itu (pandemi) dan sampai sekarang," ucap Salsa.

Khawatir Tergeser

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak jauh dari tempat kerja Salsa, Deni tengah sibuk mengotak-atik mesin rajut manual. Mesin yang sudah puluhan tahun Deni gunakan. Deni kala itu tengah menerima pesanan pakaian rajut. Ia pun mempekerjakan tiga orang.

"Baru ada pesanan lagi. Dua minggu kemarin tidak ada pesanan, ya jadi libur. Kalau ada pesanan saja," kata Deni.

Deni sudah berbisnis rajut selama puluhan tahun. Mesin rajut manual itu sudah ia gunakan sejak 1992. Awalnya, Deni memiliki 15 mesin rajut manual. Kini, Deni hanya memiliki sembilan mesin rajut manual. Mesin rajut yang menjadi saksi jatuh bangunnya Deni memperjuangkan hidupnya.

Deni juga mengaku khawatir dengan mulai masifnya transformasi penggunaan mesin rajut komputer. Kendati demikian, Deni mengakui bahwa penggunaan teknologi digital di era saat ini adalah keniscayaan.

"Kalau beli pun harganya mahal. Makanya tidak semua pengusaha rajut bisa beli. Tapi, ada beberapa perajut yang menjual mesin manualnya untuk bisa membeli yang komputer," kata Deni.

Persaingan produksi pun kian ketat dengan adanya mesin rajut komputer. Dari segi harga dan lainnya jelas berbeda. Deni sadar produksi rajut manual tak bisa dibandingkan dengan komputer.

"Kalau khawatir pasti, begitupun para karyawan-karyawan. Ya semoga ada solusi ke depannya agar bisa tetap produksi," kata Deni.

"Kalau kami-kami ini menunggu pesanan saja. Kalau ada pesanan 30 lusinan ke atas, baru kita kerjakan. Kalau di bawah 10 lusin susah, karena ongkos produksinya tak sesuai, kan ada karyawan yang bantu juga," kata Deni.




(tey/tey)


Hide Ads