Hilir mudik kendaraan yang membawa benang rajut adalah pemandangan yang tak asing di Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Sebab, sejumlah masyarakat Binong telah menggantungkan hidupnya selama puluhan tahun dengan merajut.
Gapura selamat datang yang bertuliskan 'Rajut Binong Jati' adalah bukti. Jalanan di kawasan Kampung Rajut Binong Jati memang tak lebar. Hanya bisa dilalui empat motor, jika dijejer. Kawasan terbilang sibuk. Hilir mudik pedagang pasar hingga pengendara pembawa benang rajut sangat mudah kita jumpai.
Beberapa rumah di sepanjang jalan kawasan tersebut disulap menjadi rumah produksi rajut, dari pakaian, syal, tas hingga lainnya. Pelang bertuliskan nama toko rajut pun berjejer. Ada yang tutup, ada juga yang masih aktif. Hal ini menjadi penanda usaha rajut di Binong mengalami pasang surut.
Dikutip dari dari data Koperasi Industri Rajutan Binong Jati, para pelaku usaha rajut di Binong sudah ada sejak 1950-an. Kala itu, pengusaha rajut tak lebih dari 10 orang. Versi lainnya menyebutkan, pengusaha rajut sudah ada sejak 1970-an. Hingga akhirnya produksi berkembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1972, sempat berdiri organisasi yang secara khusus menangani produksi rajut. Namanya Koperasi Produksi Breien dan Konfeksi (KPB). Organisasi mengalami krisis. Kemudian dibubar dan dibentuk organisasi baru.
Kemudian, pada periode 1998, Industri rajut mulai berkembang. Pengusaha rajut mulai kebanjiran pesanan dari luar kota. Sampai akhirnya, masyarakat sekitar tergiur untuk bekerja sebagai perajut.
Sementara itu, dikutip dari situs resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), tercatat bahwa kegiatan produksi rajutan di Kelurahan Binong itu bermula pada 1965. Saat itu hanya segelintir orang yang memproduksi rajutan.
"Waktu semakin berkembang. Hingga pada masa jayanya 1997-1998 di mana terdapat 600 hingga 700 UMKM," tulis situs tersebut seperti dilihat detikJabar, Sabtu (29/10/2022).
Menurut data Kemenparekraf, pada 2021 tercatat sebanyak 418 UMKM yang memproduksi berbagai jenis produk rajutan. Produksi rajutan di Binong ini diklaim menyerap tenaga kerja sebanyak 2.143 orang. Kapasitas produksinya mencapai 984.426 lusin per tahun.
Sekretaris Lurah Binong Taufik Izatika mengaku aktivitas di Kampung Rajut Binong Jati mengalami pasang surut. Ia mengatakan saat ini total pengusaha rajut mencapai 400 hingga 500 orang.
"Tapi, memang sekarang cenderung berkurang. Daya beli masyarakat yang menurun karena pandemi kemudian pemasaran menjadi faktornya," kata Taufik saat berbincang dengan detikJabar.
Taufik menjelaskan waktu pandemi COVID-19 para perajut sempai kesulitan mendapatkan pemasanan. Terutama para perajin rajut dengan skala kecil. "Penurunan produksi atau pemasanannya bisa sampai 40 persenan dari normal," kata Taufik.
Namun, Taufik memastikan saat ini kondisi kampung rajut berangsur membaik. Transformasi perajut juga sudah terjadi. Beberapa perajut di Binong Jati mulai beralih ke mesin rajut komputer, mesin rajut yang diatur melalui komputerisasi. Sebagiannya, masih bertahan dengan mesin rajut manual atau konvensional.
(sud/tey)