Gerakan 30 September (G30S) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dikenal dengan G30S PKI merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Di balik peristiwa tersebut, ada sosok veteran biasa yang menjadi saksi sekaligus pernah menjadi pengawal dari Jenderal yang selamat dalam tragedi pemberontakan G30S PKI.
Adalah Andi Nurdin (85). Pria tersebut merupakan kelahiran Sulawesi Selatan yang kini menetap di Jalan Pelda Suryanta, RT 01/05, Kelurahan Nanggeleng, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi.
Dengan pakaian batik, peci dan tongkat di tangannya, ia baru saja pulang shalat Ashar berjamaah pada Jumat (30/9/2022). Senyum ramahnya membuka perbincangan dengan detikJabar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski usianya tak lagi muda, ingatan Andi ternyata masih kuat saat ditanya soal kehidupannya di masa lalu. Dia menyebutnya sebagai masa kejayaan.
Pengalamannya dimulai pada tahun 1965. Saat itu ia merupakan bagian intelijen di Batalyon Infanteri 310/Kidang Kencana Kodam Siliwangi.
Dia bersama Usman dan Harun ditugaskan menyusup ke Malaysia saat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Andi selamat dari sergapan pasukan Malaysia, sedangkan Usman dan Harun tertangkap dan dihukum mati.
![]() |
Sepulang dari Malaysia, dia ditugaskan kembali ke Kalimantan Barat tepatnya pada tahun 1966 untuk menumpas antek-antek PKI. Dia mengungkapkan, ada sekitar 11 prajurit Batalyon Infanteri 310/Kidang Kancana gugur saat penyerbuan di Sungai Sekayam (anak sungai Kapuas).
"Kalau itu memang musim-musim PKI, dari 310 ada 11 orang korban yang meninggal. Kita nggak tahu peristiwa akan terjadi seperti itu karena yang dikirim dari Jawa. Setelah ada perintah masuk ke perbatasan baru tahu tugasnya mengamankan PKI," kata Andi.
Saat itu, dia memiliki tugas khusus. Tak hanya memegang senjata dan mengamankan gerombolan PKI, ia juga sekaligus menjadi intelijen yang mengumpulkan informasi dari masyarakat soal keberadaan PKI.
Dia mengatakan, pasukan 310 Siliwangi hanya membutuhkan waktu 7 bulan untuk menyelesaikan operasi di saat pasukan lain menghabiskan waktu 1 tahun.
"Dari hasil operasi penumpasan PKI, kita mendapat 250 pucuk senjata hasil perampasan dari PKI. Dalam 7 bulan itu diselesaikan, 310 itu istimewa, pasukan lain 1 tahun kita 7 bulan," ujarnya.
"Selama 7 bulan itu kita kepung di setiap gunung-gunung yang ada di Kalimantan Barat, setiap hari dari jam 6 pagi hingga jam 5 sore kita jalan kaki untuk mencari antek-antek PKI itu mau hujan panas kita jalan terus sampai sepatu habis (rusak)," sambungnya.
Operasi Pagar Betis
Keberhasilan 310 Kodam Siliwangi tak terlepas dari peran serta Jenderal Abdul Haris Nasution. Operasi pagar betis yang sebelumnya diterapkan dalam penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 diterapkan kembali saat kegiatan G30S PKI di Kalimantan Barat.
"Setelah diketahui itu PKI langsung ditangkap. Ada hukuman yang berat dan ringan. Bukan PKI lagi, musuhnya itu kalau kita kejar, dia lari ke Malaysia, jadi pertempuran di gunung ini, dia lari. Tapi alhamdulillah kita ambil sistem A. H. Nasution, pagar betis. Kekalahannya karena ada pagar betis itu, dikepung, yang menciptakan pagar betis Pak Nasution," sambungnya.
Jadi Pengawal Jenderal A. H. Nasution
Setelah keberhasilannya menumpas antek-antek PKI, pada tahun 1967 Andi ditugaskan menjadi pengawal Jenderal A. H Nasution yang saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
"Mau pelantikan Soeharto jadi Presiden, saya dipanggil untuk mengawal Ketua MPRS. Ibaratnya setiap makanan dan minuman yang dimakan itu harus saya cicipi. Kalau dia diracun atau apapun yang menimpa Pak Nasution itu saya yang mati duluan," ungkapnya.
Andi yang hanya berpangkat Letnan mengawal Nasution di Senayan, Jakarta. "Saya hanya mengawal Nasution saja setelah kejadian G30S PKI. Dijaga sama pasukan 310, 320 dan 315. Banyak dari intel-intel digabung, pasukan hanya ditempatkan di Senayan," tambah Andi.
"Mengamankan sidang MPR dan pelantikan Pak Soeharto," kata Andi saat ditanya misinya saat itu.
Baca juga: 5 Fakta Persib Jelang Lawan Persija |
Sampai akhirnya Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Presiden Indonesia pada 12 Maret 1967. Andi pun memilih untuk pensiun hingga akhirnya menetap di Sukabumi. Atas jasanya tersebut, dia mendapatkan penghargaan Dwikora dan penghargaan atas jasanya dalam pemberontakan PKI di Kalimantan Barat.
"Saya punya anak 2 cucu 2, sekarang tinggal di rumah bersama menantu. Kalau anak saya jadi dosen di Makasar. Terimakasih kepada Tuhan karena sudah dipanjangkan umur, terima kasih juga kepada pemerintah yang memberikan tunjangan Dwikora dan penyelesaian PKI di Kalimantan," katanya.
(yum/yum)