Ito Sumardi memiliki karier baik di Kepolisian Republik Indonesia. Sebelum purnatugas dengan pangkat terakhir komisaris jenderal, Ito pernah menjabat sebagai Kabareskrim Polri. Namun diawal kariernya, dia sempat menjadi ajudan pejabat kepolisian.
Ito pernah menjadi ajudan Wakapolri pada era Orde Baru yaitu Letnan Jenderal Sabar Koembino (periode 1979-1982) dan Letnan Jenderal Pamoedji (periode 1982-1984).
Tidak gampang untuk bisa mendapat posisi ini. Seorang polisi aktif harus lolos beberapa tahap seleksi dan bersaing dengan kandidat lain. Meski terkadang para pejabat Polri bisa menunjuk langsung anggota aktif yang ingin dijadikan sebagai ajudannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ajudan itu rata-rata dipilih. Selain kemampuan atau kecakapan, juga dari penampilan yang ganteng gitu biasanya," kata Ito seperti dilansir detikX.
Tugas seorang ajudan dibagi dua, yaitu ajudan dinas dan stand by. Ajudan dinas bertugas mendampingi komandan dalam tugas keseharian termasuk memastikan jadwal harian komandan. Sedangkan ajudan stand by adalah ajudan yang selalu bersiaga apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Tugas mereka antara lain mengatur jadwal dan mencatat surat maupun komunikasi yang masuk ke rumah dinas.
Tapi dalam beberapa kasus, Ito mengatakan, para ajudan biasanya diminta melayani keluarga (anak dan istri) atasannya. Selama menjadi ajudan, beberapa tugas di luar kedinasan sempat ia lakukan guna melayani atasannya. Ia menyetrika baju dan menyemir sepatu atasannya. Selain itu, ia bertugas menyiapkan rokok dan kopi buat pejabat yang dikawalnya.
Ito sempat merasa risi karena diperlakukan layaknya asisten rumah tangga oleh anak atasannya bahkan dibentak-bentak. Ito sempat berpikir untuk mengundurkan diri tapi dilarang atasannya. "Saya berani melawan karena saya lulusan Akabri. Bayangkan, kalau ajudan bintara, tentu tidak berani melawan walaupun diperlakukan semena-mena."
Tak bisa dimungkiri salah satu alasan Ito bersedia jadi ajudan karena keistimewaan yang diperoleh dalam peningkatan karier. Bahkan, dari pengalamannya, mantan ajudan akan mendapatkan jabatan strategis. "Misalnya saya dulu ditaruh di Reserse Metro Jaya. Itu biasanya orang antre dulu kalau mau ke sana. Tapi, karena saya ajudan, jadi dimudahkan. Karena pengabdian kita ke atasan." Melihat hal itu, teman-temannya pun 'menitipkan nasib' kepadanya.
Penasihat Ahli Kapolri dan mantan Kepala Divisi Hukum Polri Aryanto Sutadi mengatakan tidak ada aturan khusus yang mengatur keberadaan ajudan. Namun, berbelanja urusan rumah tangga pejabat Polri dan keluarganya itu bukanlah tugas seorang ajudan.
"Saya tidak pernah baca job description ajudan. Itu kan job ajudan nggak penting-penting banget, jadi di aturan Kapolri tidak ada. Ya, didasarkan kebiasaan saja," katanya.
Di sisi lain, tidak semua pejabat Polri berkenan dilengkapi dengan ajudan. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional dan pensiunan bintang dua polri, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Benny Mamoto, menolak saat ditawari ajudan. Ia beralasan keberadaan ajudan dapat membuatnya mengalami ketergantungan dan menjadi kurang waspada.
"Saya belajar dari teroris yang saya periksa. Mereka bilang, kalau ada pejabat yang harusnya dikawal tapi justru tidak ada pengawal, mereka justru khawatir akan dijebak karena mungkin ada pengawalan tertutup," jelasnya kepada detikX.
Artikel ini telah tayang di detikX dengan judul Melesat Jabatan karena Status Ajudan. Baca selengkapnya di sini.
(iqk/iqk)