Nikah dan Poligami Bukan Solusi Penanganan HIV/AIDS!

Nikah dan Poligami Bukan Solusi Penanganan HIV/AIDS!

Rifat Alhamidi - detikJabar
Rabu, 31 Agu 2022 09:46 WIB
Tia (39) adalah penyintas HIV/AIDS yang sudah berjalan 4 tahun. Ia tertular dari suaminya yang merupakan mantan pemakai narkoba dan telah meninggal dunia akibat virus tersebut.
Ilustrasi (Foto: Wisma Putra/detikJabar).
Bandung -

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) merespons pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengenai penanganan HIV/AIDS. IPPI menganggap nikah dan poligami seperti idenya Wagub Uu, bukan solusi untuk menekan angka kasus HIV/AIDS.

"Menyatakan bahwa pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat Ruzhanul Ulum ini sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kesalahan yang lebih fatal bagi masyarakat lebih luas dan perempuan secara khusus. Pernikahan baik 'monogami' ataupun 'poligami' tidak bisa menyelesaikan persoalan HIV, apalagi dianggap sebagai solusi pencegahan HIV-AIDS," kata Koordinator Nasional IPPI Ayu Oktariani dalam keterangannya yang diterima, Rabu(31/8/2022).

IPPI sebagai jaringan Nasional bagi perempuan yang Hidup dengan HIV dan terdampak HIV di Indonesia menganggap, poligami dan pernikahan di usia muda malah akan menjadi pintu gerbang pada kasus kekerasan pada perempuan. Dibuktikan dengan ringkasan eksekutif, catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022 bahwa kekerasan paling tinggi terjadi di ranah personal yaitu 335.399 kasus, dimana di dalamnya ada kekerasan dalam rumah tangga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dan dalam catatan pendokumentasian kekerasan IPPI di tahun 2021 menyebutkan bahwa, perempuan dengan HIV menjadi lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Serta sebaliknya, perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual menjadi rentan pada HIV dan infeksi menular seksual lainnya," ungkapnya.

"Apakah negara kemudian bisa memastikan bahwa setiap pasangan yang akan menikah muda dan berpoligami dapat terbebas dari tindakan kekerasan yang juga membuka pintu gerbang baru pada penularan HIV-AIDS? Selain itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pernikahan baik 'monogami' atau 'poligami' akan mencegah HIV, jika setiap individu tidak dibekali oleh kesadaran untuk mencegah HIV pada dirinya terlebih dahulu," katanya menambahkan

ADVERTISEMENT

IPPI menyatakan, pemerintah harusnya memberikan penyadaran yang lebih cerdas tentang konteks pernikahan yang bukan hanya soal menaati perintah agama dan menjauhi perbuatan zina. Sebab bagi IPPI, makna pernikahan dalam banyak keyakinan dan agama justru diyakini lebih besar daripada itu, yakni tentang kesanggupan dua orang individu untuk berkomitmen saling menghargai dan bertanggung jawab pada kehidupan, saling melindungi dan menjaga pasangan dan meraih kehidupan yang sejahtera sebagai pasangan yang saling menghargai satu sama lain.

"Bagi IPPI, solusi yang nyata dalam pencegahan penularan HIV-AIDS adalah dengan menggalakkan tersedianya pendidikan Kesehatan seksual reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dari mulai remaja sekolah sampai kepada lingkaran sosial yang sudah ada di masyarakat seperti karang taruna, pertemuan PKK ataupun Posyandu," ucapnya.

Negara juga didorong untuk hadir agar semua anak dan remaja bisa menempuh pendidikan atau mendapatkan aktifitas serta haknya sebagai pribadi dan individu untuk berkembang dan maju. Bukan malah kata IPPI, didorong untuk menikah muda hanya karena dianggap sudah kebelet.

"Kementerian Kesehatan juga telah dengan jelas memberikan cara dan upaya yang nyata untuk mencegah HIV/AIDS dengan abstinece, atau tidak melakukan hubungan seks sama sekali. Kemudian be faithfull atau setia dengan pasangan, lalu use condoms, jika dihadapkan pada risiko tetap menggunakan pengaman, tidak menyalahgunakan drugs, dan edukasi pada
pencegahan HIV/AIDS, termasuk pendidikan Kespro dan pencegahan kekerasan berbasis
gender," paparnya.

Menurut IPPI, jika informasi tentang kesehatan seksual reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender diberikan dengan tepat, seharusnya malah bisa membantu remaja dan individu usia produktif untuk memahami tentang tubuhnya serta bisa melindungi diri dari kekerasan serta pelecehan.

Selain itu, sejak dini mereka akan mendapatkan pemahaman tentang resiko berhubungan seksual di usia yang dini, tidak aman bahkan tanpa kesadaran akan beresiko pada HIV dan infeksi menular seksual lainnya, termasuk adanya kekerasan berbasis gender pada perempuan. Hal itu karena, perempuan paling sering tidak punya posisi tawar dan dalam kondisi yang sulit sebagai korban.

"Pada konteks pernikahan, yang paling penting didorong pada seluruh pasangan yang hendak menikah bukan kesegeraan atau dorongan berpoligami. Namun adanya konseling sebelum pernikahan tentang komunikasi yang setara antara pasangan, tentang Pendidikan Kesehatan seksual reproduksi dan mendorong mereka melakukan pemeriksaan kesehatan
dengan konseling yg tepat. Termasuk konseling pencegahan HIV jika memang ternyata salah satu pasangannya ditemukan positif HIV," katanya.

"Karena tidak menutup kemungkinan orang yang hidup dengan HIV bisa menikah, berkeluarga serta merencanakan kehamilan yang sehat tanpa menularkan pasangan anak anak yang akan dilahirkannya. Implementasi Undang - undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga sebaiknya dapat menjadi perlindungan kepada perempuan yang kerap menjadi korban dalam pernikahan "Poligami" dan Pernikahan Usia Muda," ujarnya.

Simak Video 'Pro Kontra Wagub Jabar Sarankan Poligami untuk Cegah HIV/AIDS':

[Gambas:Video 20detik]



(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads