Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah salah satu pekerjaan yang kerap dianggap tabu di masyarakat. Jika mengutip lirik lagu 'Kupu-Kupu Malam' karya Titiek Puspa, 'Ada yang benci dirinya, Ada yang butuh dirinya, Ada yang berlutut mencintainya, Ada pula yang kejam menyiksa dirinya'. Lirik tersebut seolah menggambarkan dilema terhadap profesi PSK di masyarakat.
Di satu sisi, PSK kerap menerima caci maki karena pekerjaannya yang dianggap keji. Di sisi lain, PSK masih dicari-cari hanya untuk memuaskan hasrat diri. Setelah merasa puas, seorang PSK hanya dianggap sebagai alat pemuas diri dan lantas kembali mendapatkan caci maki.
Padahal, seorang PSK memiliki motif yang sama untuk bekerja, yaitu demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bedanya, profesi PSK tersebut seringkali bukanlah suatu pilihan dari pekerjanya. Terkadang seorang PSK tidak memiliki pilihan lain untuk menghidupi diri sendiri ataupun keluarga.
Salah seorang mantan PSK di Bandung yang berinisial AS (33) menceritakan motifnya menjadi Wanita Pekerja Seks (WPS) karena alasan ekonomi. Selain itu, ia juga mengaku dijerumuskan oleh temannya yang lebih dulu terjun di dunia malam.
"Awalnya oleng di bidang ekonomi, terus cerita-cerita ke temen dan dijerumuskan temen yang juga kerja di situ, cuma saya nggak tahu kerjanya di situ, tahunya cuma nemenin minum aja, nggak sampai kayak gitu," ucap AS saat ditemui di Female Plus belum lama ini.
Sementara itu mantan PSK lain, yakni E yang berusia sekitar 20-an menceritakan kisahnya yang berujung menjadi PSK laki-laki seks dengan laki-laki (LSL). E mengaku salah satu faktor yang membuatnya menjadi PSK adalah kondisi keluarga yang kurang harmonis.
"Saya dilahirkan di keluarga yang keras, terus merasa nggak punya sosok pria dewasa yang bisa melindungi. Terus karena lingkungan juga jadi kebawa sifat-sifat feminim. Waktu SMA ada yang ngajak main dan saya ngerasa nyaman, dibayar juga, akhirnya keterusan," ucap E yang juga ditemui di Female Plus di hari yang sama.
(mso/mso)