"Hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya." Kalimat ini merupakan sebuah penggalan surat cinta syahdu nan romantis yang dipersembahkan oleh Bung Karno kepada Inggit Garnasih, sang istri yang selalu setia mendampingi Bung Karno muda saat melewati masa-masa perjuangan memerdekakan Indonesia di Kota Kembang.
Bagi sebagian orang, Bandung tentunya telah meninggalkan kesan tersendiri untuk para pelancong maupun warga yang sudah menetap sejak lama. Tak ayal, julukan-julukan yang disematkan untuk Bandung sebagai Kota Kembang, ataupun dengan nama Paris van Java-nya, menjadi sebutan yang ideal untuk menggambarkan bagaimana kondisi di Kota Bandung.
Nah dari sekian banyak julukan yang disematkan untuk Kota Bandung, istilah Paris van Java tentu begitu familiar di telinga masyarakat. Konon, julukan ini sudah disematkan sejak Belanda menguasai Indonesia pada abad ke-19. Namun, belum banyak yang tahu bagaimana sejarah hingga julukan ini bisa disematkan untuk Bandung pada saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip detikJabar dari jurnal Nandang Rusnandar berjudul Sejarah Kota Bandung Dari "Bergdessa" (Desa Udik) Menjadi Bandung "Heurin Ku Tangtung" (Metropolitan) yang dipublikasikan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Senin (22/8/2022), julukan Paris van Java disebut muncul ketika diselenggarakannya Congres Internationaux d`architecture Modern (CIAM) atau Kongres Internasional Arsitektur Modern yang digelar di Kota Chateau de la Sarraz, Swiss pada Juni 1928.
Kala itu, Nandang menulis Bandung mulai gencar membangun bangunan yang indah, tata kota dan pola pemukiman yang serasi sehingga kelestarian alam dapat sedemikian rupa terjaga. Hal itu sejalan setelah Bandung selain menjadi Ibu Kota Kabupaten Bandung, juga memiliki fungsi baru sebagai Ibu Kota Karesidenan Priangan.
Tak hanya memikirkan bangunan dan tata kota semata, taman-taman kota juga mulai dibuat di seantero Kota Bandung. Nandang mencatat, pada akhir abad ke-19, usaha penghijauan telah dimulai agar kawasan ini menjadi segar.
Penghijauan pun dilakukan oleh perkumpulan Bandoeng Vooruit, meliputi daerah DAS Cikapundung dari Lembang hingga Lembah Tamansari, Lereng Bukit Palasari, Jayagiri, Ciumbuleuit, Gunung Manglayang dan Arcamanik. Penghijauan juga dilakukan dengan melestarikan beberapa air terjun dan danau-danau (situ) di seputar daerah Bandung, seperti Situ Patengang, Situ Cileunca, Situ Aksan yang disebut natuur-monument atau monumen alam.
Nandang lalu menulis, dalam cara membangun bangunan-bangunan di Kota Bandung, para arsitek Belanda kurang memperhatikan sifat- sifat Hindische atau kedaerahan. Sehingga, Hendrik Petrus Berlage, yang merupakan bapak arsitektur modern di Belanda kala itu memberikan julukan kepada Bandung dengan sebutan Bandoeng Parijs van Java.
Julukan ini pun mencuat ketika Congres Internationaux d'architecture moderne (CIAM) dihelat di kota Chateau de la Sarraz, Swiss, Juni 1928. Nandang mengisahkan jika Hendrik Petrus Berlage menyindir bahwa Kota Bandung dalam pembangunannya berkiblat kebarat-baratan dan lebih terpaut ke Kota Paris. Sementara, para arsitek yang menggagas tata letak Kota Bandung dianggap tidak menonjolkan ciri khas tropis dan tidak mencerminkan kepribadian yang mandiri.
Meskipun Paris van Java kala itu merupakan julukan yang bernada sindiran, namun pada akhirnya Nandang mengisahkan julukan itu malah menjadi masyhur ke seluruh dunia. Penyebabnya karena Bandung saat itu menjadi prototipe dari Kolonialle Stad atau kota kolonial.
Selain itu, julukan Kota Bandung sebagai Paris van Java kata juga sejalan dengan maraknya aktivitas perkebunan di sekitar Kota Bandung pada awal abad 20. Kemudian, turut berdiri juga bangunan-bangunan untuk kepentingan orang perkebunan seperti hotel, kantor, pertokoan dan tempat hiburan, termasuk sekolah. Di antara semua itu, yang paling tersohor adalah tempat perbelanjaan khusus orang kulit putih yang dibangun di sepanjang Jalan Braga yang semula hanya berupa jalan pedati.
Karena faktor itu pula, Braga berkembang menjadi daerah yang pesat. Pada masa keemasannya, Braga turut mempengaruhi perkembangan wilayah sekitarnya, seperti aktivitas perdagangan, jasa, hiburan, hingga perkantoran yang berada pada kawasan ini.
Secara fisik kawasan Jalan Braga lalu dikembangkan dengan suasana mendekati tempat-tempat di Eropa kala itu. Kondisi itu pun sekarang masih bisa ditemukan dari beberapa fisik bangunan gedung yang cenderung tampil dengan gaya Eropa. Mulai dari gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), gedung Van Dolph (sekarang Landmark), gedung Gas Negara serta gedung-gedung lainnya yang berada di sekitar Braga. Hingga akhirnya, gaya arsitektur yang khas ini pun menjadikan kawasan Braga semakin berkembang sebagai kawasan perdagangan yang banyak diminati masyarakat saat itu.
(ral/tey)