Sebanyak 65 ribuan tenaga kesehatan (nakes) dan non-nakes honorer yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) menuntut agar statusnya berubah menjadi P3K. Ribuan nakes dan non-nakes ini diangkat sebagai P3K melalui jalur afirmasi.
Wakil Ketua Forum Komunikasi Honorer Fasyankes (FKHF) Jabar Saeful Anwar mengatakan pengangkatan status pegawai sejatinya diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 5/2014 tentang aparatur sipil negara (ASN).
Status P3K harus melalui persyaratan dan uji kompetensi terlebih dahulu. Namun, FKHF meminta agar anggotanya dikecualikan dalam proses uji kompetensi. Kendati meminta agar bisa menjadi P3K melalui jalur afirmasi, Saeful mengaku FKHF tak menutup diri tentang aturan atau persyaratan untuk bisa menjadi P3K.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita ini sudah mengorbankan waktu untuk tidak bekerja di tempat yang lain. Artinya kami sudah cinta sama fasyankes, kami sudah mengabdi. Jadi pemerintah tolong afirmasi kami, bedakan cara perekrutan kami dengan teman-teman yang dari umum (honorer)," kata Saeful kepada awak media usai audiensi dengan Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Gedung Sate, Selasa (9/8/2022).
Lebih lanjut, Saeful mengatakan FKHF tetap membuka diri untuk mengikuti uji kompetensi. Namun, lanjut dia, tentunya dengan standar nilai yang berbeda dengan honorer umum.
"Kalau pun tes dengan penilaian yang lebih rendah, mungkin. Tapi kalau memang tidak bisa tes, dilihat masa kerja kami ya itu akan lebih relevan lagi. Karena bisa buktikan mau diperiksa sama perawat yang baru satu tahun atau 10 tahun bekerja," ucap Saeful Anwar.
Ia juga mengatakan ada anggota FKHF yang mengabdi selama 28 tahun. Namun, hingga saat ini statusnya masih honorer. "Usianya sudah 54 tahun, kalau pun diangkat jadi P3K paling punya waktu empat tahun mengabdi," kata Saeful.
"Kalau total nakes dan non-nakes itu sekitar 63 ribuan sampai 65 ribuan se-Jabar," kata Saeful menambahkan.
Merasa Terancam
FKHF mengaku khawatir dengan adanya PP Nomor 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. "Kami merasa terancam dengan adanya PP 49/2018," kata Saeful.
Saeful menerangkan Pasal 99 ayat (1) dalam PP tersebut mengancam kelangsungan honorer, tepatnya setelah lima tahun dan khusus honorer yang di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ia menerangkan rata-rata puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah di Jabar berstatus BLUD.
"Adanya PP ini dinyatakan tidak boleh ada lagi non ASN di dalam institusi tersebut, dan kenyataannya pemerintah daerah tidak bisa mengakomodir karena keterbatasan biaya," ucap Saeful.
Saeful menerangkan pemerintah pusat telah melimpahkan sepenuhnya kewenangan terhadap daerah. Sementara itu, Saeful mengklaim tenaga honorer nakes dan non-nakes yang bekerja di pelayanan kesehatan pelat merah jumlahnya mencapai 75 persen.
Saeful berharap pemerintah bisa mengakomodir keinginan honorer. Termasuk soal kebutuhan anggaran di daerah.
"Tapi kalau memang PP tersebut hadir bisa mengakomodir kami menjadi P3K, dengan anggaran dari pusat itu yang kami tunggu-tunggu," kata Saeful.
Sebelumnya, Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum mengaku telah berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait nasib honorer. Uu menjelaskan tenaga honorer mengeluh ke Pemprov Jabar, termasuk Gubernur Jabar, hal itu disuarakan saat berunjuk rasa di depan Gedung Sate. Uu menjamin nasib honorer di Jabar.
"Para honorer yang sekarang itu jangan gundah gulana. Toh, mereka tetap akan dijadikan P3K dengan waktu tertentu,asal memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, terutama mengisi format," kata Uu di Gedung Sate, Senin (8/8/2022).
Uu juga meminta instansi yang memiliki honorer untuk segera didaftarkan, baik itu kesehatan maupun guru. Ia mendesak kepala dinas atau badan agar aktif mendata honorer.
(sud/yum)