Organisasi kepemudaan (OKP) Cipayung atau yang kerap disebut Kelompok Cipayung Ciamis mendorong masyarakat kembali merebut hak konstitusionalnya yang dirampas segelintir elite politik. Hal tersebut kompak disampaikan sejumlah pimpinan OKP Cipayung Ciamis dalam diskusi interaktif yang berlangsung di kafe Kopi Kitri, Ciamis, Jumat (29/7).
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciamis Siraj Naufal mengungkapkan kedaulatan masyarakat saat ini tengah disabotase oleh kekuatan segelintir elite yang memonopoli saluran politik.
"Bukan omong kosong belaka bahwa suara rakyat kini dibonsai oleh elite-elite politik yang sama sekali menafikan hak konstitusional warga dalam konteks partisipasi politik," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (29/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyoroti realita politik di Indonesia yang kini tidak memberikan ruang yang lebih demokratis bagi masyarakat sebagai subjek pemegang daulat.
Senada dengan Siraj, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciamis Fajar Satria menilai tercerabutnya hak konstitusional masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya merupakan wujud kemunduran praktik demokrasi di Indonesia.
"Dalam kondisi yang demikian, bukan tidak mungkin rakyat hanya akan menjadi sasaran empuk mobilisasi dan manipulasi elite karena dianggap tidak punya kapasitas dalam mengubah keputusan-keputusan publik di level elite kekuasaan," ungkapnya.
Pernyataan tersebut didukung oleh Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Ciamis Galuh. Menurutnya, slogan kedaulatan rakyat dalam semangat demokratisasi hanya sekadar lip-service yang nihil manifestasi.
"Bahayanya, kedaulatan semu ini perlahan dianggap sebagai hal lumrah tanpa mempertanyakannya lagi. Alhasil, partisipasi politik rakyat berubah esensi dari perjuangan menentukan nasib menjadi sebatas pemenuhan formalitas," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Ciamis Sanny Slamet Sanjaya mengatakan calon pemimpin non partai memiliki peluang yang kecil dalam memperoleh tiket Pemilu. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan anomali dalam praktik demokrasi.
"Seharusnya demokrasi memfasilitasi kesempatan setiap orang untuk ikut berkontestasi. Namun, kenyataannya dengan segala pembatasan regulasi, ditambah eksklusifnya keputusan partai justru kesempatan itu tertutup bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap partai," pungkasnya.
Karenanya, kata Sanny, demokrasi yang konon berakar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat berubah menjadi dari elite, oleh elite dan untuk kepentingan elite.
(ncm/ega)