"Ayo, lari dulu! Tiga putaran, ya!" Sahut Septian Mulyadi, guru olahraga, kepada murid-murid kelas 6 SD yang baru saja memulai pelajaran olahraga pagi itu. Sembari melesat, tawa ceria dan candaan pun kerap terlontar.
Matahari yang bersinar cerah, hembusan angin yang sejuk, dan berbagai sahutan penyemangat dari sang guru olahraga tersebut ampuh menghadirkan atmosfer positif dalam pembelajaran di luar ruang kelas tersebut.
Nyaris satu jam lamanya berbagai siswa tersebut dengan aktif menggerakkan tubuhnya, dari kepala hingga kaki. Setelah selesai beraktivitas di lapangan tengah sekolah tersebut, para murid melepas alas kakinya dan berjalan di atas lintasan batu terapi sepanjang sekitar 20 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang selalu begini, kang. Setelah olahraga, pendinginannya sambil terapi di sini," ujar Septian pada detikJabar, Kamis (28/7/2022).
Beralamat di Jalan Rajamantri Kaler No. 25, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, SDN 206 Putraco Indah dikenal sebagai sekolah inklusi. Artinya, sekolah ini menekankan pembelajaran bersama antara siswa reguler dengan yang berkebutuhan khusus.
Salah satu teknik yang diterapkan di sekolah ini adalah tutor sebaya yang berarti Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) tidak hanya dibimbing oleh gurunya, tetapi juga oleh temannya yang reguler. Teknik ini dinilai efektif dan ampuh bagi perkembangan sosial murid sekolah tersebut.
Sambil memantau para murid, Septian bercerita tentang kegiatan berolahraga dan terapi di SDN tersebut. Ia kemudian memperkenalkan berbagai orang tua yang turut menanti anaknya di kantin sehat yang terletak di samping lapangan tengah sekolah. Salah satunya adalah Sinta Devianti, ibunda Muhammad Akbar Nurulfitra yang duduk di kelas 6 SD.
Dokter menyebut buah hati Sinta didiagnosa mengidap PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder - Not Otherwise Specified). Meski tidak tergolong parah, kondisi tersebut dapat memengaruhi perkembangan anak. Sinta mengetahuinya kala Akbar masih berumur 1,5 tahun.
Enam tahun bersekolah di SDN 206 Putranco Indah memberikan banyak perubahan pada Akbar. Selain akibat bertambah dewasa, Sinta menyatakan lingkungan sekolah yang mendukung juga membuat Akbar semakin fokus dan bisa diarahkan.
Sinta merasa sekolah inklusi memang menjadi wadah yang baik bagi tumbuh kembang Akbar. Perundungan pun tidak pernah menjadi isu di sini.
"Di sini juga nggak ada bullying. Kalau di luar suka ada yang iseng, di sini nggak ada," kata Sinta.
![]() |
Ibunda dari dua bersaudara ini memaparkan Akbar sepulang sekolah suka menceritakan jika ada yang menangis atau mengamuk di sekolah. Meski belum terlalu fasih merangkai kata, peningkatan yang signifikan perlahan terlihat sedikit demi sedikit.
Di luar bidang akademik, ternyata Akbar sangat mencintai musik. Bahkan, ia bercita-cita menjadi anggota grup vokal lelaki.
"Akbar cita-citanya pengen jadi Smash (nama grup vokal lelaki di Indonesia), pengen jadi boyband Indonesia," ujarnya dengan mata yang berbinar.
Sinta juga menyatakan Akbar memiliki ketertarikan di bidang musik, terutama bernyanyi dan bermain drum. Siswa kelas 6 SD tersebut sering melantunkan nada sambil berpura-pura menabuh drum ketika berada di rumah.
Pihak sekolah juga menyadari bakat dan ketertarikan Akbar tersebut. Lomba menyanyi se-Kecamatan Lengkong pun sempat Akbar lakoni. Pasalnya, setiap ada panggung, Akbar pasti ingin naik dan ikut bernyanyi.
Selain itu, bahasa Inggris juga sangat menarik minat Akbar. Setiap ada kata atau kalimat yang berbahasa Inggris, berbagai kalimat pertanyaan terlontar dari mulut Akbar.
"Bu, ini apa bu artinya? Bu, bahasa inggrisnya ini apa, bu?" ucap Sinta yang menirukan gelagat Akbar.
Guru olahraga SDN 206 Putraco Indah, Septian Mulyadi menekankan jangan ada kata "normal" di sekolah tersebut, agar semua siswa tidak ada yang berpikir dirinya tidak normal. Alhasil, reguler dan PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus) menjadi istilah umum di sana.
"Di sini adanya reguler dan PDBK, itu bahasa halusnya," ujar Septian.
Mendidik seluruh siswa dari kelas 1 SD hingga 6 SD, Septian dan seluruh jajaran guru menanamkan anak-anak didiknya sejak dini agar tidak merundung. Dampaknya, tidak ada yang namanya perundungan di sekolah tersebut.
Guru-guru di SDN 206 Putraco Indah memang tidak hanya mengajar dan mengawasi muridnya di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas. Untuk anak kelas 1 dan 2 SD, para guru menyuruh semuanya untuk bermain bersama.
"Anak kelas 1 yang reguler kan masih belum sadar kalau anak ABK itu berbeda dengan dirinya. Makanya dari kelas 1 itu ditonjolkan untuk main bareng," kata pria yang sudah mengajar di sekolah tersebut sejak 2011.
![]() |
Teknik tidak membedakan kondisi mental siswa tersebut ternyata berujung manis tidak hanya bagi muridnya, tetapi juga bagi orang tuanya. Septian menyatakan orang tua yang anaknya reguler tidak pernah keberatan anaknya disatukan dengan PDBK. Malah, mereka bersyukur dan turut membimbing siswa PDBK lainnya.
Saat mengajar, Septian selalu berusaha mencampur siswa reguler dengan PDBK. Prinsipnya adalah jangan sampai ada siswa yang merasa kalau dirinya dibedakan, kecuali ada siswa yang memiliki kendala di kesehatan fisiknya.
Ruang kelas di SDN 206 Putraco Indah tersebut memiliki format satu meja untuk dua siswa. Biasanya, siswa reguler akan duduk di samping PDBK. Tujuannya adalah agar keduanya dapat saling membantu.
"Jadi saling membantu, itu namanya tutor sebaya," jelas Septian.
Banyaknya jumlah PDBK juga mendorong SDN 206 Putraco Indah untuk menerapkan teknik tersebut. Pada akhirnya, budaya saling membantu dan berbagi itu tidak hanya antarsiswa, tetapi juga di kalangan orang tua. Bagi Septian, kedekatan merupakan salah satu aspek yang dapat dibanggakan dari sekolah tersebut lantaran hal seperti itu belum tentu terjadi di sekolah lain.
Guru olahraga tersebut juga menekankan kerja sama antara orang tua dengan guru. Ia sangat menyayangkan jika hasil perjuangan para guru di sekolah tidak direfleksikan di rumah dan keluarga siswanya.
"Misalkan disini nggak di manja, sudah bagus tuh di sekolah, tetapi ketika di rumah anak tersebut di manja lagi. Jadinya percuma. Makanya guru itu biasanya juga mengingatkan orang tuanya terkait cara menangani anaknya," ujar Septian.
"Karena di sekolah kan kita cuma berapa persen, kuncinya itu di luar. Keberhasilan anak kan bergantung ke hubungan orang tua dan anaknya," tutup Septian.