Analisis Pakar Unpad soal Fenomena Citayam Fashion Week

Analisis Pakar Unpad soal Fenomena Citayam Fashion Week

Sudirman Wamad - detikJabar
Selasa, 26 Jul 2022 13:11 WIB
Apa itu HAKI? Istilah HAKI sedang menjadi perbincangan. Hal tersebut lantaran Baim Wong mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai HAKI kepada Kemenkum HAM.
Foto: Citayam Fasion Week (dok. detikcom).
Bandung -

Citayam Fashion Week menjadi fenomena subkultur baru yang merepresentasikan kreativitas anak muda. Fenomena tersebut merupakan cara melawan arus utama.

Sejalannya waktu, fenomena Citayam Fashion Week menarik segelintir pesohor untuk berkolaborasi memanfaatkan peluang. Hingga pada akhirnya menuai kontroversi publik.

Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang juga pegiat industri kreatif Dwi Purnomo menjelaskan kolaborasi merupakan hal yang sah, terlepas dari kontroversi yang terjadi. Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Hanya, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya," kata Dwi dalam keterangan yang diterima detikJabar, Selasa (26/7/2022).

Dwi menjelaskan era digital saat ini menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan. Karena itu, lanjut dia, Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif.

ADVERTISEMENT

Dwi mengatakan Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada. "Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang," ucap Dwi.

Kendati demikian, Dwi mengatakan kolaborasi tetap perlu dikemukakan secara gamblang untuk menghindarkan salah persepsi. "Siapa tahu asumsi saya, dia (pesohor) punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan," kata Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung tersebut.

Dwi menjelaskan di era digital, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan. Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.

"Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan," kata Dwi.

Komprehensif

Dwi pun mengkritisi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week. Penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut.

"Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental," kata Dwi.

Dwi mengatakan analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono. Melalui model tersebut, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif.

Model kerangka berpikir itu banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi. Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.

Dwi menjelaskan cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis. "Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju," kata Dwi.

Sebelumnya, Baim Wong melepas Citayam Fashion Week setelah keputusannya mendaftarkan aktivitas fesyen jalanan ke HAKI menuai pro dan kontra. Lewat channel YouTube Baim Paula, ia pun memberikan klarifikasi terkait itikadnya yang membuat heboh tersebut.

"Ketika adanya ide ini pas Paula di sana, idenya sebenarnya bukan HAKI idenya itu kita adain suatu pagelaran, kompetisi supaya fashion week ini ada dan nggak cuma gini aja," ujar Baim Wong seperti dilihat, Selasa (26/7/2022).

Dikutip dari detikHOT, Baim mencari tahu apakah Citayam Fashion Week telah ada yang mendaftarkan atau belum. Hal itu, ia lakukan untuk meminta izin andai ada yang memakai nama itu untuk kegiatan yang dia rencakan.

"Kalau saya tipikal yang mau ambil gitu saja hak orang, itu nggak. Saya tanya dulu sama Bonge, baru habis itu saya tanya ke HAKI. Sebelum saya membuat kompetisi dan pagelaran besar karena kalau HAKI itu ada saya mau minta izin. Sesimple itu, boleh nggak," ujar suami dari Paula Verhoeven itu.

Halaman 2 dari 2
(sud/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads