Analisis Psikiater soal Kasus Bocah Dipaksa Setubuhi Kucing

Analisis Psikiater soal Kasus Bocah Dipaksa Setubuhi Kucing

Wisma Putra - detikJabar
Kamis, 21 Jul 2022 14:58 WIB
Ilustrasi bullying
Foto: Ilustrasi bully (Thinkstock).
Bandung -

Peringatan (trigger warning): Artikel ini mengandung konten eksplisit tentang perundungan ekstrem yang dapat memicu kondisi emosi dan mental pembaca. Kami menyarankan Anda tidak meneruskan membacanya jika mengalami kecemasan dan meminta bantuan profesional.

Bocah kelas enam SD di Tasikmalaya jadi korban bullying. Bocah malang itu mengalami depresi hingga sakit keras dan akhirnya meninggal usai dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman sebayanya.

Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung dr Elvine Gunawan mengatakan aksi bullying sebetulnya bukan kasus baru. Bullying menurutnya memiliki dampak yang luas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Setiap kasus bullying baik ringan atau seperti ini sudah ekstrem, bukan lagi bullying secara verbal, tapi ini lebih kekerasan secara fisik walaupun gunakan cara lain. Ini berdampak pada kesehatan jiwa, buat orang yang melakukan sudah pasti ada gangguan jiwa. Untuk orang terkena dampak jelas dan terakhir juga saksinya, dampaknya luas banget," kata Elvine via sambungan telepon, Kamis (21/7/2022).

Ia mengungkapkan perilaku terduga pelaku harus diobservasi lebih jauh. Pasalnya hal tersebut terjadi di luar nalar.

ADVERTISEMENT

"Pelakunya harus diobservasi lebih, ini ada sesuatu, anak lain pada kondisi normal tidak punya pikiran untuk menyuruh orang untuk menyetubuhi kucing, tidak mungkin," ungkapnya.

Menurutnya, dalam kasus bullying ini ada ketidakseimbangan kekuasaan. Menurutnya pelaku power full banget melakukan hal tersebut kepada orang lain.

"Harus ditarik lagi ke belakang bagaimana pola asuh anak ini, kepedulian keluarga, apakah dari dulu ada gangguan perilaku. Kalau dilihat sebenarnya kita harus lihat secara utuh, pola asuh dari kecil sampai besar seperti apa, apakah anak ini lihat percontohan, pernah lihat seperti ini sebelumnya, jangan-jangan dia lihat konten ini di media sosial seperti film porno, dia pasti pernah lihat," ucapnya.

Elvine juga menuturkan, kejadian ini cukup mengagetkan. Biasanya kasus bullying ini terjadi pada fisik atau secara sosial tidak bisa main bareng teman-temannya. Ia menilai, bullying seperti ini seperti out of the book secara negatif.

"Orang tua harus peka apakah anak-anaknya ini, perilaku sama dengan seusianya, kalau bapak ibunya merasa ragu datang ke pelayanan kesehatan, apakah hanya feeling atau memang ada gangguan," tuturnya.

"Kedua, sebenarnya konteks bullying ini bisa terjadi di sekolah, sosial dan lainnya. Harus ada kepedulian dari komunitas sosial kita untuk melindungi atau menjaga komunitas kita supaya sehat," ucapnya.

Menurutnya juga, jika ada kasus bullying jangan dianggap normal. Karena bullying ini tidak pernah menjadi kasus normal.

"Bahkan kita meledek fisik seseorang itu sudah bullying, itu sebenarnya harus segera ditemui karena pengabaian adalah pintu gerbang untuk bullying yang lebih besar lagi, jadi ketika anak sudah sering membully temannya, itu sudah ada tanda-tanda. Intinya kepekaan ya, karena korban bullying tidak akan berani melapor," ujarnya.

(wip/mso)


Hide Ads