Jarum jam hampir menunjukan Pukul 12.00 WIB, sejumlah pengemudi ojek yang mangkal di Pangkalan Ojek Logam, Kota Bandung masih setia menunggu penumpang.
Sepi, pemandangan itu nampak jelas terlihat saat detikJabar berkunjung ke pangkalan ojek itu belum lama ini. Hanya satu-dua penumpang yang datang mencari pengemudi ojek pangkalan untuk diantarkan ke tempat tujuan.
Sambil menunggu penumpang, para pengemudi ojek pangkalan ini nampak asyik berbincang dengan rekannya. Ada juga yang sedang memainkan ponsel atau membersihkan motornya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ikut berbincang, hal yang dibahas para pengemudi ojek pangkalan saat ini yaitu soal Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite yang sudah tidak ditemukan lagi di penjual eceran. Jika membeli langsung ke SPBU, mereka harus lama mengantre. Bahkan ada SPBU yang kerap kehabisan stok BBM andalan para pengemudi ojek pangkalan tersebut.
Perbincangan lainnya, yakni soal penurunan pendapatan karena ojek pangkalan punya saingan, salah satunya ojek online. Salah seorang pengemudi ojek pangkalan, Endang (63), mengaku dulu hasil mengojek ia bisa kumpulkan uang untuk membeli rumah. Sedangkan kini, menurut Endang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sulit.
![]() |
"Ngumpulin uang setelah menikah tahun 1990, dikumpulkan dua tahun bisa beli rumah harga Rp 2,5 juta (sekarang setara lebih dari Rp 25 juta)," kata Endang.
Pria yang tinggal di kawasan Ibun, Kabupaten Bandung itu lalu menerawang ke masa lalu, masa dimana ojek begitu berjaya. Endang mengisahkan, pada tahun 1990-an, harga BBM Rp 400 per liternya dan ongkos ojek paling murah Rp 200. Menurutnya, penghasilan sebagai pengemudi ojek saat itu sangat menjanjikan.
"Penghasilan ngojek seminggu, ada pekerja bangunan dua orang (lagi bangun rumah) terbayar. Tukang Rp 12 ribu, kenek (kernet) Rp 7 ribu, itu tahun 1992," ungkapnya.
Meski profesi sebagai pengemudi ojek pangkalan saat ini sudah tak menjanjikan lagi, ia tetap setia. Baginya, setiap pundi yang didapatkan harus dimaksumalkan. Bahkan, dari jerih payahnya, Endang bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
"Anak tiga, alhamdulillah sudah tamat sekolah semuanya. Sarjana dua orang, satu di Inaba dan satu di Unpas, tiga-tiganya sudah menikah," jelasnya.
![]() |
Endang mengaku, pendapatan pengemudi ojek pangkalan saat ini tak menentu. Bisa besar, bisa kecil. Baginya saat ini untuk mendapatkan uang Rp 100 ribu sehari tak lagi mudah, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Apalagi, jika wacana kenaikan harga Pertalite terjadi, hal itu sangat berdampak pada pekerjaannya.
"Pendapatan tidak cukup buat resiko (dapur). Saya punya cicilan rumah subsidi, pendapatan Rp 40-50 ribu, cukup nggak buat makan dan cicilan rumah. Soalnya rumah yang dulu dibeli sudah dijual. Sulit, makin sulit, pendapatan makin minim, pengeluaran makin besar. Kalau bahan bakar naik, segala yang dijual pasti naik. Buat pemerintah nggak berpengaruh, buat rakyat besar (pengaruhnya)," jelasnya.
Meski demikian, Endang tetap bersyukur ia dan keluarga masih diberikan kesehatan. Rasa syukur bisa menafkahi sang istri pun begitu membuncah dalam benaknya.
"Sekarang, bagi masyarakat kecil seperti saya intinya jangan banyak pikiran, semuanya dikembalikan kepada Yang Maha Kuasa, dibalikkan lagi semuanya, diatur Allah SWT," tuturnya.
"Cukup nggak cukup alhamdulillah, disyukuri. Alhamdulillah masih bisa cari uang dan kalau bilang susah, semua bidang pekerjaan susah saat ini. Ini jangan dianggap susah, apalagi tubuh masih sehat," pungkas Endang.