Polemik soal dugaan penyelewengan duit donasi di tubuh yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) disorot DPR RI. Komisi VIII DPR meminta aparat penegak hukum mengusut aliran donasi yang dikelola ACT.
Dikutip dari detikNews, Selasa (5/7/2022), Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menegaskan donasi berjumlah besar atau kecil yang disinyalir ditilap mesti diselidiki. Yandri pun meminta ACT dibubarkan jika yayasan tersebut terbukti melanggar hukum.
"Berapapun yang diselewengkan itu, menurut saya, harus ditindak. Bahkan kalau perlu dibubarkan. ACT diaudit, dipanggil para pihak, dipublikasi apa persoalannya, apa penyelewengannya dengan terang benderang, sehingga nanti insyaallah masyarakat tetap punya kontribusi untuk memberikan sumbangsih melalui yayasan-yayasan yang lain, yang sehat, yang tidak melakukan penyimpangan," tutur Yandri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanksi atau hukuman setimpal merupakan efek jera bagi pihak yang melabrak aturan hukum. Yandri menjelaskan kepercayaan masyarakat yang memberikan donasi akan hilang kalau pengelolanya melakoni praktik penyelewengan.
"Karena, kalau tidak disanksi tegas saya khawatir trust atau kepercayaan masyarakat yang punya kepedulian sosial dapat menjadi lemah ataupun hilang. Karena, kalau uang mereka disalahgunakan berarti tidak sampai pada tujuan. Nah, ini jangan sampai tafsir masyarakat seperti itu," tutur Yandri.
Presiden ACT Ibnu Khajar mengakui pihaknya mengambil 13,7 persen dari donasi yang terkumpul untuk operasional gaji pegawai. Pemotongan dana untuk gaji dari donasi itu dilakukan sejak 2017 hingga 2021.
"Kami sampaikan bahwa kami rata-rata operasional untuk gaji karyawan atau pegawai di ACT dari 2017-2021 rata-rata yang kami ambil 13,7 persen. Kepatutannya gimana? Seberapa banyak kepatutan untuk lembaga mengambil untuk dana operasional?" ujar Ibnu dalam konferensi pers, Senin (4/7).
"Kalau teman mempelajari, dalam konteks lembaga zakat, karena dana yang dihimpun adalah dana zakat. Secara syariat dibolehkan diambil secara syariat 1/8 atau 12,5 persen. Sebenarnya patokan ini yang dijadikan sebagai patokan kami, karena secara umum tidak ada patokan khusus sebenarnya berapa yang boleh diambil untuk operasional lembaga," ujar Ibnu menambahkan.