Pria Muda Arab Kini Banyak yang Konsumsi Viagra

Kabar Internasional

Pria Muda Arab Kini Banyak yang Konsumsi Viagra

Tim detikNews - detikJabar
Kamis, 30 Jun 2022 19:30 WIB
Ilustrasi Minum obat
Ilustrasi obat. (Foto: shutterstock)
Jakarta -

Ahli herbal Rabea al-Habashi memperlihatkan racikan yang dijulukinya 'ramuan ajaib' di apoteknya. Apotenya berlokasi di kawasan bersejarah Bab al-Shaaria, pusat Kota Kairo, Mesir.

Dikutip dari detikNews, nama Habashi sendiri dikenal warga kota setempat karena menjual afrodisiak dan pembangkit gairah seksual alami lainnya. Selama beberapa tahun terakhir, pemilik apotek ini mengamati adanya perubahan selera dari para pelanggannya.

"Kebanyakan pria kini mencari pil biru yang mereka dapatkan dari perusahaan-perusahaan Barat," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamatan Habashi sejalan dengan hasil sejumlah kajian yang menunjukkan kaum muda Arab yang semakin banyak membeli obat-obatan seperti sildenafil (dikenal dengan nama komersial Viagra), vardenafil (Levitra, Staxyn), dan tadalafil (Cialis).

Meski begitu, sebagian besar pria muda yang BBC wawancarai di Mesir dan Bahrain membantah menggunakan obat untuk menangani lemah syahwat.

ADVERTISEMENT

Mereka malah mengaku tidak tahu obat-obatan tersebut. Ada pula yang langsung menolak membahas topik tersebut karena menganggapnya bertentangan dengan moral masyarakat.

Padahal, berdasarkan kajian pada 2012, Mesir adalah pelanggan obat anti-impoten terbesar per kapita kedua di antara negara-negara Arab.

Arab Saudi Jadi yang Tertinggi

Harian Saudi, Al-Riyadh, menerbitkan laporan tersebut, memperkirakan saat itu warga Saudi telah menghabiskan US$1,5 miliar (Rp22,2 triliun) per tahun untuk obat-obatan anti-impoten.

Konsumsi warga Saudi tergolong 10 kali lipat lebih tinggi dari konsumen Rusia, yang populasinya lima kali lebih banyak, menurut surat kabar itu.

Sementara itu, baru-baru ini, hasil kajian the Arab Journal of Urology menunjukkan 40% responden pria muda Saudi pernah menggunakan obat seperti Viagra setidaknya sekali dalam hidup mereka.

Sedangkan Mesir berdasarkan statistik resmi negara itu pada 2021, penjualan obat anti-impoten di sana mencapai US$127 juta (Rp1,8 triliun) per tahun, yang setara dengan 2,8% dari seluruh nilai penjualan farmasi di negara tersebut.

Tekanan pria

Tingginya minat konsumen mendorong perusahaan lokal beraksi. Pada 2014, obat anti-impoten bernama Al-Fankoush muncul di supermarket-supermarket Mesir dalam wujud cokelat.

Al-Fankoush dijual seharga satu pound Mesir (Rp775 mengikuti kurs mata uang saat ini). Namun, sesaat setelah beredar di pasaran, distribusi Al-Fankoush dihentikan apparat lantaran media setempat melaporkan bahwa obat itu juga dijual ke anak-anak.

Penggunaan obat anti-impoten diketahui lebih banyak dipakai pria yang lebih tua ketimbang pria muda. Namun, di Yaman, data dari kementerian kesehatan setempat menunjukkan obat tersebut paling banyak dikonsumsi pria kelompok umur 20 hingga 45 tahun.

Laporan media di negara tersebut menyebut Viagra dan Cialis justru dipakai pria muda sebagai obat-obatan rekreasional saat pesta sejak awal perang sipil antara kubu pemberontak Houthi dan koalisi pimpinan Saudi pada 2015.

Mohamed Sfaxi, guru besar urologi dan bedah alat reproduksi, menekankan dalam wawancara dengan BBC bahwa obat-obatan semacam itu "bukan stimulan" dan seharusnya dipakai untuk menangani keluhan-keluhan yang dalam banyak kasus "dirasakan kaum lansia".

Sementara itu, seorang pakar seksualitas di Timur Tengah menilai kaum muda Arab mengonsumsi pil anti-impoten karena faktor budaya.

"Alasannya boleh jadi merujuk ke masalah lebih besar yang dihadapi kaum muda Arab," jelas Shereen El Feki, wartawan Mesir-Inggris sekaligus penulis buku berjudul Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World.

Menanggapi hasil survei besar sokongan PBB tahun 2017 mengenai kesetaraan gender di Timur Tengah, El Feki menjelaskan, "Hampir semua responden pria khawatir soal masa depan dan bagaimana mereka akan menafkahi keluarga mereka. Banyak pria bicara mengenai tekanan besar menjadi seorang pria, sementara kaum perempuan menilai 'bagaimana pria bukan lagi pria'.

"Itu artinya para pria berada dalam tekanan dan kemampuan seksual terjalin dalam budaya maskulinitas, sehingga ada banyak tekanan pada kemampuan seksual," paparnya.

El Feki mengaitkan sorotan terhadap kemampuan seksual pada salah kaprah dan ekspektasi berlebihan yang diciptakan pornografi sehingga "mengubah pemikiran pria muda mengenai apa yang tergolong 'normal' ketika menyangkut kejantanan."

(ors/ors)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads