Hasil Penelitian ITB soal Pencemaran di Teluk Bima

Hasil Penelitian ITB soal Pencemaran di Teluk Bima

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Rabu, 15 Jun 2022 13:36 WIB
Pencemaran di Teluk Bima.
Pencemaran di Teluk Bima. (Foto: Twitter @rio_ramabaskara)
Bandung -

Pada 24-30 April 2022 terjadi sebuah fenomena pencemaran laut di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat. Fenomena itu pun sempat viral setelah adanya cuitan di Twitter terkait pencemaran perairan.

Merespons hal itu, Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan riset langsung di lokasi. Dari kejauhan, pencemaran nampak seperti gurun pasir dengan luas lebih dari 10 hektare.

"Dimulai dari tanggal 26 April 2022, tim kami dekat dengan Relawan Tanggap Bencana setempat. Kami diberi laporan adanya pencemaran pada tanggal tersebut, kebetulan tim memang ada di Bima untuk meneliti daerah kumuh. Kami ke lapangan pada keesokan harinya," ujar Prof. Dr. Ing. Ir. Prayatni Soewondo, M.S., Pakar Rekayasa Air dan Limbah Cair ITB, Selasa (14/6/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan itu juga memuat info bahwa terdapat warga yang keracunan usai mengkonsumsi ikan laut tersebut. Di depan awak media, Prayatni menyampaikan bahwa saat ia dan tim Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB sampai di lokasi, diambil sampel dari lima titik.

"Saat itu pencemaran masih ada tapi sudah berkurang. Karakteristik buih kecoklatan yang ada di laut tersebut yakni ada bau, berupa busa kental yang tebal sekitar 10 cm, teksturnya kenyal, berwarna cokelat, dan tidak mengalami pembakaran," jelas Prayatni.

ADVERTISEMENT

Ia memaparkan pada 28-29 April 2022, buih semakin berkurang. Hal ini tertangkap dari kamera satelit, hingga pada 6-14 Mei 2022 buih tak terlihat di perairan Bima.

"Kami tanya dari penduduk setempat, fenomena ini ternyata biasa terjadi setahun sekali. Namun tahun ini adalah yang terbesar. Setelah kami teliti, ada algae dialom atau algae laut dalam lima sampel," terangnya.

"Dalam penelitian kami, ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas perekonomian setempat. Ini merupakan faktor limbah domestik, pertanian, perikanan, kandungan oil. Semua bergantung pada geografis, pola arus, dan global warming," ujarnya.

Menurutnya fenomena buih terjadi saat komponen air laut yang diganggu angin dan ombak akan menimbulkan buih. Buih berwarna kecoklatan disebabkan fitoplankton. Buih ini memiliki kadar toksisitas yang cukup tinggi, sehingga dikatakan beracun, bahkan membuat banyak ikan mati.

"Kami melihat adanya pemberitaan bahwa disinggung itu merupakan limbah perusahaan tertentu. Kami sampaikan bahwa memang ini fenomena baru untuk Indonesia, namun kasus ini juga pernah terjadi di Washington, Belanda, dan Turki. Penyebabnya ada kesuburan algae yang tidak berdampak baik," papar Drs. Dasrul, M.M., M.E., M.H., Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut KLHK.

Konferensi pers hasil penelitian Teluk Bima.Konferensi pers hasil penelitian Teluk Bima. Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Riset skala global mengenai pencemaran algae blooming di berbagai negara juga menunjukkan bahwa 76% dari kejadian ini teriadi di area semi enclosed sea (laut yang setengah tertutup). Sehingga Teluk Bima memang rentan berpotensi mengalami fenomena tersebut.

"Kami perlu melakukan riset mendalam terkait antisipasi dan solusi agar algae ini tidak kembali subur dan mencemari perairan Bima. Untuk saat ini yang dapat disarankan adalah perlu adanya filter atau pengurangan aktivitas di sekitar laut yang berpotensi mencemari. Seperti pembuangan sisa makanan," tutup Prayatni.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Polisi Usut Dugaan Kelalaian di Insiden Maut Pernikahan Anak KDM"
[Gambas:Video 20detik]
(aau/ors)


Hide Ads