Kelompok nelayan di Pangandaran meminta agar penangkapan benih baby lobster (BBL) di perairan kembali dilegalkan pemerintah daerah. Pasalnya, saat ini nelayan tengah terdesak imbas paceklik hasil tangkapan laut.
Salah seorang nelayan dari Pantai Bojong Salawe, Kusin, menuntut agar Pemkab Pangandaran melegalkan penangkapan BBL. Namun, penjualannya melalui tempat pelelangan ikan (TPI) untuk menyelamatkan koperasi unit desa (KUD) yang terancam bangkrut gara-gara paceklik.
"Kita ingin produksinya masuk TPI dan masuk KUD. Saat ini KUD hampir bangkrut karena saat ini nelayan sedang mengalami paceklik hasil laut, karena paceklik kesulitan ikan," kata Kusin kepada detikJabar setelah audiensi dengan Bupati Pangandaran di KUD Bojes, Kecamatan Parigi, Kamis (12/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kusin mengatakan, meskipun ada larangan, nelayan akan tetap nekat menangkap BBL meski sadar dengan ancaman yang mungkin menghampiri, pasalnya dapur di rumah harus tetap mengebul.
"Daripada kita kelaparan tidak makan dan tidak dapat uang. Maka akhirnya para nelayan pasti akan kucing-kucingan dengan petugas," ucapnya.
Ia membandingkan peraturan menangkap BBL ini dengan daerah berpesisir lainnya di Jabar, seperti Garut dan Tasikmalaya. Ia menyebut, hanya Pangandaran yang aturan menangkap BBL-nya sangat ketat.
"Hanya Pangandaran yang seperti ini, Garut dan Tasik bisa-bisa aja. Mereka legal menangkap BBL," kata Kusin.
Kusin mengatakan, setiap kali menangkap BBL, nelayan bisa mendapatkan 100 sampai 200 ekor BBL. Dengan harga Rp 5.000- Rp10.000. "Kan itu lumayan, di tengah-tengah kita paceklik," ucapnya.
Dari pantauan detikJabar, audiensi nelayan se-Pangandaran di aula KUD Bojes diwarnai dengan sorak para nelayan yang menolak aturan larangan penangkapan BBL.
Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pangandaran (DKPKP), Dedi Surachman mengatakan, pihaknya akan menampung usulan para nelayan. "Permintaan nelayan untuk menghadirkan Bupati Jeje kami penuhi, mereka menerima setelah dijelaskan soal solusi dan peraturannya," kata Dedi.
"Tapi kita melihat di Peraturan Kementerian Nomor 17 Tahun 2021 menangkap baby lobster hanya untuk pembudidaya saja. Sementara kegiatan budidaya lobster di Pangandaran tidak ada. Bagaimana kita mau membuat ketentuan yang mengarah ke legalisasi penangkapan lobster, sementara yang menampung BBL nya juga tidak ada," ujar Dedi.
Dedi mengatakan, menangkap BBL secara serampangan tanpa ada upaya budidaya malah mengancam kelangsungan ekosistem laut. Alih-alih dapat keuntungan, dalam jangka panjang penangkapan BBL secara membabi buta bisa membuat tangkapan ikan atau cumi melangka, karena BBL masuk dalam rantai makanan di sana.
"Tetaplah mencari ikan, kalau pun paceklik, tapi kan tidak terus-terusan. Sampai bulan Agustus sudah selesai. Kami juga akan menindak nelayan dari luar wilayah Pangandaran yang menangkap BBL di perairan Pangandaran. Karena meskipun suatu daerah legalkan baby lobster, itu sangat sulit karena perlu ada syarat dan ketentuan izin dari provinsi berdasarkan rekomendasi dari pemkab," katanya.
(bbn/yum)