Fenomena kenaikan suhu di Kota Bandung yang kini terasa lebih panas dibanding dulu turut disorot sejumlah aktivis lingkungan. Mereka sepakat telah terjadi pemanasan global yang dipicu beberapa faktor, termasuk minimnya peran pemerintah mengantisipasi hal tersebut.
Sorotan tajam salah satunya muncul dari lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyinggung tentang fungsi taman kota di Kota Bandung, Jawa Barat. Walhi menilai fungsi taman-taman kota saat ini sudah salah kaprah lantaran hanya berorientasi kepada estetika kota tanpa memperhatikan fungsi sebenarnya dari ruang terbuka hijau (RTH) itu.
"Karena begini, ada catatan RTH yang selama ini hanya diartikan sebagai kawasan yang ada tanamannya. Sementara di sisi lain, esensi RTH itu harusnya kawasan yang ditumbuhi tumbuhan dan pohon keras yang berfungsi menyerap air hujan," kata Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong saat berbincang dengan detikJabar via telepon, Bandung, Rabu (20/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, selama ini kan revitalisasi (RTH/taman kota) ini salah kaprah. Di bawahnya dia dikerasin atau mengalami pengerasan, sementara tumbuhannya malah ditaruh di atas pot. Kan itu yang salah kaprah karena fungsi dari esensi taman kotanya jadi berkurang," ujar Meiki.
Meiki menilai, taman kota sebagai RTH seharusnya bisa berfungsi untuk menjaga kelestarian lingkungan. RTH menurutnya bisa jadi kawasan konservasi air karena menyerap curah air hujan sekaligus menjadi pemasok cadangan oksigen bagi lingkungan di sekitarnya.
"Karena seberapa besar sih fungsi tumbuhan di atas pot dibanding tumbuhan pohon keras yang ditanam di atas tanah? RTH ini harusnya penting jadi kawasan yang berfungsi konservasi air, dia bisa menyerap air hujan sekaligus memberikan oksigen segar untuk kota," tuturnya.
Walhi pun menyinggung kawasan taman kota yang seharusnya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau hanya dibuat untuk kebutuhan estetika atau keindahan di Kota Bandung. Padahal seharusnya, taman kota harus menjadi kawasan yang bisa menjadi solusi meminimalkan terjadinya pemanasan global.
"RTH itu seharusnya dipenuhi oleh pohon besar, bukan pohon tanaman estetis yang cuma mengedepankan keindahan. Memang itu juga menghasilkan oksigen, tapi namanya tumbuhan di atas pot pastinya enggak sebanyak pohon besar di atas tanah. Seharusnya esensinya begitu," ucapnya.
Imbas salah kaprah ini, kata Meiki, kerap terjadi genangan di beberapa titik jalanan Kota Bandung karena memang taman kota sebagai RTH tak difungsikan secara maksimal. Karena memang, setiap hujan turun dengan intensitas curah yang tinggi, jalanan Kota Bandung langsung dipenuhi genangan air.
"Karena selama ini taman di Kota Bandung tanahnya mengalami pengerasan. Begitu mengalami pengerasan, airnya tidak terserap ke dalam tanah. Akhirnya apa, airnya melimpah ke gorong-gorong, sementara drainasenya bisa kita bilang buruk kapasitasnya. Gorong-gorong tidak bisa nampung, drainase buruk, akhirnya tumpah hingga ke jalan-jalan kalau udah diguyur hujan," tuturnya.
Minim Ruang Terbuka Hijau
Walhi juga turut menyoroti minimnya RTH di Kota Bandung. Berdasarkan catatan Walhi, Kota Bandung hanya memiliki 12 persen ruang terbuka hijau yang seharusnya minimal memiliki 30 persen RTH dari total luas wilayah di Ibu Kota Jawa Barat tersebut.
"Bagaimanapun, solusi pendekatan ekologi yang baik adalah ruang terbuka hijau. Kebutuhan RTH Kota Bandung masih di bawah 30 persen, masih jauh dari syarat regulasinya. Kita hanya punya 12 persen ruang terbuka hijau dari keseluruhan wilayah di Kota Bandung," ungkapnya.
Meiki pun mendorong kebutuhan RTH ini harus diperluas untuk Kota Bandung. Selain menjadi solusi bagi pemanasan global, RTH pun bisa memberi manfaat bagi warga sekitar terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan.
"Penting RTH ini dari aspek pendekatan iklim, kan dia sangat penting karena akan menghasilkan tanaman-tumbuhan besar penghasil oksigen. RTH akan membawa kesejukan dan bisa meredam kondisi di saat perubahan iklim terjadi yang mengakibatkan suhu menjadi panas seperti konteksnya Kota Bandung saat ini," pungkasnya.
(ral/ors)