"Pondok pesantren itu tempatnya orang-orang baik, dan tempat orang-orang yang tidak baik yang ingin menjadi baik," begitulah penggalan wawancara bersama Dudu Mardiana, pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Taubah yang terletak di Jalan Kebon Tangkil, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung dengan detikJabar.
Jika menyebutkan alamat lengkapnya, pasti tak banyak yang tahu bagaimana latar belakang ponpes itu berdiri. Namun, saat menyebut nama Saritem, siapapun tentu tak asing dengan namanya.
Ya, Saritem adalah tempat lokalisasi yang disebut-sebut terbesar di Jawa Barat dan telah eksis sejak tahun 1830-an atau tepatnya saat masa penjajahan Belanda di Tanah Priangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ponpes Dar Al-Taubah sendiri merupakan pondok pesantren yang tepat berada di muka jalan yang menjadi akses masuk ke tempat lembah hitam Saritem.
Ponpes yang diresmikan pada 2 Mei 2000 itu memiliki cita-cita mulia, mengikis stigma kawasan Saritem yang telah dikenal sebagai tempat lokalisasi dan pelampiasan birahi yang dikendalikan secara massif oleh germo maupun mucikari.
Saat pertama menginjakkan kaki di Ponpes Dar Al-Taubah, malam itu, senandung zikir dan salawat terdengar bersaut-sautan dari santriawan dan satriwati pondok pesantren. Pemandangan syahdu nan indah ini pun menjadi warna pembeda di kawasan Saritem yang sudah terkenal sebagai kawasan prostitusi, terumata dunia hingar bingarnya saat malam hari.
"Laa Ilaaha Illallahu Laa Ilaaha Illallah, Laa Ilaaha Illallahu Laa Ilaaha Illallah," lantunan para santri terdengar menghangatkan suasana malam.
![]() |
Berdiri di atas lahan sekitar 600 meter persegi, Ponpes Dar Al-Taubah sudah 22 tahun memberikan syiar agama kepada warga yang berprofesi sebagai germo, mucikari maupun wanita tuna susila (WTS) di sana. Tantangannya memang berat. Tapi, semua itu bisa mereka lalui hingga bisa berdiri berdampingan dengan lingkungan di kawasan Saritem.
"Kalau santri di sini total ada 180-an, laki-laki sama perempuan dan semuanya anak-anak sekolah. Itu yang mondok di sini, yang enggak mondok ada 150 dan mayoritas anak-anak yang rumahnya ada di kawasan ini," ucap Dudu mengawali perbincangannya dengan wartawan.
Selama Ramadan, ratusan santri Ponpes Dar Al-Taubah disibukkan dengan aktivitas mengaji. Dari pagi hingga malam hari, bahkan setelah sahur, para pengasuh pondok pesantren hilir mudik memberikan berbagai ilmu agama kepada anak didiknya.
Pola belajar itu pun juga berlaku untuk santri yang tinggal langsung di Kawasan Saritem. Namun yang menjadi menarik, semenjak adanya pesantren di sana, aktivitas lokalisasi di Saritem kini praktis turut diliburkan saat Ramadan seolah untuk memberikan penghargaan bagi umat Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa.
"Kalau ngaji pas Ramadan, kita biasanya full. Dari subuh itu sudah mulai tadarus, terus dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang itu anak-anak ngaji lagi. Masuk lagi jam 2 siang sampai waktu Asar, terus sampai jam 5 sore sambal nunggu buka. Ngajinya bukan cuma tadarusan, ada yang ngaji kitab kuning sama nahwa shorof juga," tuturnya.
"Nah yang menariknya, pas bulan Ramadan itu ada dorongan dari warga sekitar. Setiap Ramadan, warga di sini mereka punya aturan sendiri. Mereka yang berkecimpung di dunia prostitusi diliburkan sehingga tidak ada aktivitas seperti itu di sini saat Ramadan. Paling hanya aktivitas warga secara biasa dan di sini kembali jadi perkampungan sebagaimana biasanya," ujar Dudu menambahkan.
Di sela perbincangan dengan Dudu, sejumlah santri pun tampak berbondong-bondong masuk ke satu ruang untuk belajar mengaji. Di pelukan tangannya, terlihat kitab bacaan yang mereka bawa plus alat tulis untuk mencatat semua pelajaran yang diberikan ustad di Ponpes Dar Al-Taubah.
Dudu sendiri diketahui telah ikut membantu Ponpes Dar Al-Taubah semenjak didirikan di kawasan Saritem pada tahun 2000 silam. Alumnus Ponpes Darussalam Gontor ini diajak langsung oleh pendiri ponpes almarhum KH Imam Sonhaji untuk memberikan syiar agama di lokalisasi Saritem.
Perjalanan suka duka pun telah ia lalui selama 22 tahun bersama Ponpes Dar Al-Taubah. Hingga akhirnya, ponpes yang kini dipimpin oleh anak mendiang KH KH Imam Sonhaji, KH Achmad Haedar itu bisa teguh melakukan syiar agama dan berdampingan dengan lingkungan warga di kawasan Saritem.
"Pas awal-awal berdiri, itu tantangannya banyak. Malah dari orang tua siswa enggak yakin ini anaknya nanti bagaimana. Tapi kita menanggapinya dengan cara membeberkan mulai dari kurikulim, sistem metode pendidikannya termasuk disiplin pondok buat santri di sini. Alhamdulillah, sampai sekarang enggak ada kendala yang berat lagi," ungkapnya.
Selama 22 tahun berkiprah, Ponpes Dar Al-Taubah pun sudah memberi dampak positif bagi lingkungan di kawasan Saritem. Kini kata Dudu, kawasan Saritem sudah tak sepenuhnya menjadi lembah hitam prostitusi seperti dulu dan banyak pelaku prostitusi yang akhirnya memilih untuk keluar dari jurang kemaksiatan tersebut.
Meskipun memang, tak gampang bagi Dudu untuk merubah image kawasan Saritem yang telah terkenal sejak lama sebagai tempat prostitusi terbesar di Jawa Barat. Tapi, Dudu dan para pengasuh Ponpes Dar Al-Taubah tetap teguh dan memiliki cita-cita pondok pesantrennya bisa menjadi warna yang berbeda di kawasan tersebut.
"Karena memang tujuan pesantren itu merubah image, sekarang dengan adanya pesantren kondisi di sini sudah berubah setengahnya enggak seperti dulu. Kalau menghilangkan kan sulit yah, selama dunia ini belum kiamat, dua warna antara halal dan haram itu pasti ada menurut saya. Tapi karena kita tujuannya syiar dan dakwah, Insya Allah kita istikomah perlahan-lahan merubah image Saritem ini," pungkasnya mengakhiri perbincangan dengan wartawan.
(ral/mso)