Imas Karyamah, ustazah asal Bandung ini akrab disapa Bunda Imas oleh para jama'ahnya. Ia rajin mengisi kajian-kajian baik offline maupun online (saat pandemi) di berbagai kesempatan.
Perihal nama Bunda Imas ini melekat menjadi nama bekennya sejak 17 tahun lalu. Berbeda dengan dua anaknya sebelumnya yang memanggil 'Emakku' atau 'Mommy', anak ketiga Bunda Imas yang lahir pada 2005 memanggilnya dengan Nda atau Bunda.
Hal itu kemudian diikuti para tetangga, mahasiswi dan jama'ah di berbagai kajiannya, jadi ikut memanggilnya Bunda hingga akhirnya jadi kebiasaan yang melekat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegiatan sehari-hari Bunda Imas begitu padat; menjadi istri, ibu bagi 3 putra putri, mengasuh anak yatim & dhu'afa, membina majelis ta'lim, anggota komisi fatwa MUI, dosen di STAIPI Bandung serta memenuhi undangan, mengisi kajian, seminar, pelatihan, menjadi motivator dakwah, bahkan diminta menjadi MC di berbagai tempat.
Masih belum cukup, Bunda Imas pun kerap melayani curhat dari anak remaja juga para mahasiswinya. Beragam cerita dan masalah dengan sabar ia dengarkan dan ditanggapi dengan gayanya yang santai.
"Setiap hari ada saja yang menyapa 'Bun, aku mau curhat'," ujar Bunda Imas saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (7/4/2022).
Jalan menjadi ustazah ditapaki Bunda Imas sejak di bangku SD saat mengenyam pendidikan di Pesantren Persatuan Islam 33 Purwakarta, dan lanjut ke PPI 76 Tarogong Garut.
"Dulu kalau teman-teman bermain setelah belajar, Bunda mah suka ngajar adik-adik kelas usia SD atau ibtidaiyah, menghapal hadis-hadis dan do'a-do'a pendek," kata ustazah kelahiran Purwakarta 8 November 1968 ini.
Melihat potensi Bunda Imas, pimpinan pondok pesantren di Garut itu pun, yaitu Hj Aminah Dahlan, sering mengajaknya ikut mengisi kajian ke berbagai daerah. Imas remaja kemudian mulai diminta membuka ceramah dan menyampaikan beberapa ayat juga hadis dengan durasi singkat.
"Baru menyadarinya belakangan, dulu Bunda enggak ngerti, kenapa sering dibawa dan disuruh buka ceramah padahal saya belum banyak tahu, karena ilmunya baru sedikit," tuturnya.
Bahkan Bunda Imas diberi kepercayaan memegang ponpes, namun ditolaknya dengan halus karena ingin melanjutkan kuliah di Bandung.
"Akhirnya pumpinan pesantran menulis surat pada adiknya, yaitu Ustazah Hj Lathiefah Dahlan di Bandung, intinya menitip saya untuk diberdayakan mengajar di Bandung sambil lanjut studi. Saya ikut ustazah senior yang suka mengisi kajian ke kantor-kantor besar seperti ke Bank Indonesia, Masjid Salman ITB dan lainnya," kenangnya.
Ustazah Hj Lathiefah Dahlan kala itu yang sering membawa Bunda Imas hingga memperkenalkannya sebagai sarjana dakwah dan da'iyah yang berilmu.
"Padahal saya saat itu baru mulai kuliah, tapi diperkenalkannya seperti seseorang yang sudah hebat, pada Pak Rusyad Nurdin Allahu yarham, dan Pak Miftah Faridl. Malu banget pokoknya, tapi itu jadi terpacu," kata Bunda Imas.
"Makanya Bunda semangat kuliah tuk terus menambah wawasan awal tahun 1988", lanjutnya.
Dan di sinilah saya dicetak oleh Al Ustadz KH. Latief Muchtar, MA., Bu Hj. E. Aisyah Wargadinata, Lc , juga Ama H. Endang Saifuddin Anshari, MA, bersama para dosen yang lainnya, sebagai kader da'i melalui Pondok Pesantren Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin, perguruan tinggi tertua di jam'iyah Persatuan Islam, yang kini berubah status nenjadi STAI Persis Bandung.
Semangat dakwah saya juga didukung penuh oleh Ayah, H. Muhtar Pramulyana, Ibu, Sudarwati Pranamulyati Allahu yarham, Suami, Didien Karwita, dan tentunya anak-anak tercinta juga keluarga besar.
Materi yang dibawakan Bunda Imas belakangan lebih pada masalah keseharian dan juga parenting, sejalan dengan ilmu yang diperolehnya, melalui konsentrasi Pendidikan Dasar, Pendidikan Anak Usia Dini di Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
"Lebih enak membawakan materi yang memang sehari-hari dilakukan, jadi ringan menyampaikannya," tuturnya.
Macam-macam masalah disampaikan oleh umat lewat messenger, facebok, instagram, telegram, whatapp, atau janjian, Bunda Imas dengarkan tanpa sedikit pun menghakimi. Hal inilah yang membuat Bunda Imas terus dijadikan tempat curhat yang nyaman bagi para jama'ahnya juga pada mahasiswinya.
"Ada yang ingin kabur dari rumah, mau bunuh diri, putus sama pacar, pacaran sesama jenis, masalah pendidikan anak, rumah tangga dan lain sebagainya. Mereka butuh didengarkan, sambil Bunda coba carikan solusinya, atau setidaknya memberi ketenangan" ujar Bunda Imas dengan khas candanya penuh keakraban.
Wakil Ketua IV, yang juga kini diamanahi sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini di STAIPI Bandung ini punya keinginan memperluas jangkauan dakwahnya melalui berbagai media, agar bisa memberikan manfa'at pada banyak orang dengan berbagai latar belakang juga status sosial yang beragam.
"Saya akan berhenti berdakwah jika Allah menghentikan dakwah saya", demikian Imas mengakhiri bincang santainya.
(tey/tey)