Belum lama ini, ramai pemberitaan negara mayoritas muslim Tajikistan mengeluarkan larangan berjilbab di negaranya. Ternyata, bukan hanya Tajikistan sebagai negara muslim yang menerapkan larangan tersebut.
Larangan penggunaan model pakaian penutup aurat bagi wanita muslim di Kazakhstan memiliki catatan sejarah panjang. Pelarangan tersebut mulanya muncul di lingkungan sekolah sejak 2017.
Dilansir media lokal, KazTAG, setahun kemudian, Menteri Agama saat itu Nurlan Yermekbayev mengeluarkan larangan pemakaian burqa dan niqab di tempat umum dengan alasan kedua pakaian penutup aurat muslimah tersebut menyulitkan proses identifikasi wajah. Larangan tersebut termaktub dalam draft RUU tentang Perubahan Sejumlah Hukum terkait Kegiatan Keagamaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlanjut pada 2023, pemerintah Kazakhstan kembali mengeluarkan larangan atas penggunaan jilbab di lingkungan pendidikan, yang berlaku bagi siswa dan guru. Kebijakan ini memicu debat intens di dalam negeri, meskipun larangan ini tidak berlaku di luar sekolah.
Di negara dengan 74 persen muslim tersebut, undang-undang baru ini terutama ditujukan pada penggunaan hijab dan pakaian muslim lainnya. Pelanggar kebijakan ini akan dikenakan denda mulai dari 7.920 Somoni atau sekitar Rp 12 juta untuk individu dan 39.500 Somoni atau Rp 60 juta untuk badan hukum.
Menurut pernyataan resmi dari situs web pemerintah Kazakhstan, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan kesetaraan semua agama di hadapan hukum dan mencegah pemanfaatan agama untuk kepentingan tertentu di negara itu.
Berdasarkan keterangan dari Deutsche Welle (DW), reaksi publik terhadap kebijakan ini beragam. Pendukung menyatakan bahwa sebagai negara sekuler, Kazakhstan harus menghindari pemberian perlakuan khusus kepada agama tertentu.
Namun, pihak kontra dari kebijakan ini berargumen bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.
Menurut Menteri Pendidikan Kazakhstan, Gani Beisembayev, di wilayah Atyrau, 150 anak perempuan telah putus sekolah sejak awal September 2023 akibat larangan ini. Sementara itu, di wilayah Turkestan, ada laporan bahwa dua orang pria menyerang kepala sekolah karena menolak siswi yang mengenakan jilbab.
Presiden Kazakhstan, Kassym-Jomart Tokayev, berpendapat dalam kongres nasional guru di Astana bahwa sekolah adalah tempat untuk belajar. Kepercayaan agama adalah urusan pribadi.
"Kebebasan beragama dijamin oleh hukum di negara kita. Saya berpendapat bahwa anak-anak memiliki hak untuk memilih sendiri ketika mereka matang," kata Tokayev.
Aksi protes pun dilakukan, termasuk pembakaran buku pelajaran oleh para siswi yang menuntut hak mereka untuk mengenakan pakaian muslim. Tokoh-tokoh publik perempuan juga telah bergabung dalam protes dengan mempublikasikan foto mereka mengenakan hijab.
Togjan Qojaly, anggota dewan sosial Almaty, mengklaim bahwa larangan tersebut ilegal. Menegaskan bahwa penggunaan jilbab merupakan bagian dari tradisi gadis-gadis di Kazakhstan saat memasuki usia pubertas.
Menurut Qojaly, penerapan kebijakan ini dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi yang merugikan para gadis Muslim dalam berintegrasi ke dalam kehidupan sekuler. Qojaly berpendapat bahwa larangan ini mungkin akan lebih mudah diterima jika hanya berfokus pada atribut yang menghambat pengenalan identitas pribadi, seperti niqab, cadar, dan burqa.
Mufti Agung Kazakhstan, Nauryzbay Kazhy Taganuly, mengusulkan solusi bahwa anak perempuan yang ingin mengenakan jilbab harus belajar di madrasah dari kelas 10, di mana pelajaran agama dan sekuler diajarkan sesuai standar pendidikan.
Sampai saat ini, pemerintah belum menolak usulan tersebut. Walaupun larangan penggunaan jilbab masih berlaku di semua lembaga pendidikan di Kazakhstan.
(hnh/rah)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!