Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya hadir dalam agenda peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang digelar di Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat.
Dalam kesempatan ini, Gus Yahya menyampaikan pidatonya yang menyoroti hak istimewa yang diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) atau permanent five (P5) terhadap penegakan Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
Acara tersebut berlangsung di Universitas Princeton, New Jersey itu bertajuk, The Future of the Universal Declaration of Human Rights: Toward a Global Consensus that the World Diverse Peoples, and Nations Should Strive to Fulfill.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gus Yahya menjelaskan, pasca-Perang Dunia II, DK PBB yang terdiri dari lima negara pemenang perang memiliki hak veto untuk menanggapi situasi internasional. Namun sayangnya, pemberian hak istimewa tersebut dinilai melemahkan legitimasi PBB.
"Setelah Perang Dunia II, Dewan Keamanan PBB-dengan lima negara pemenang perang sebagai anggota tetapnya-menawarkan mekanisme yang masuk akal dan berpotensi realistis untuk menegakkan Piagam PBB dan UDHR," kata Gus Yahya, Rabu (13/12/2023).
Menurutnya, pemberian hak veto telah melemahkan legitimasi PBB dan memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang mengejar tujuan tersendiri melalui berbagai upaya politik, ekonomi, dan juga militer.
"Pemberian hak veto kepada kelompok yang disebut 'P5' terhadap resolusi-resolusi untuk menegakkan konsensus internasional yang telah disepakati sebelumnya telah melemahkan legitimasi PBB," bebernya.
Hak Veto DK PBB Berpotensi Menyebabkan Pelanggaran
Gus Yahya melihat bahwa adanya hak istimewa tersebut memungkinkan anggota tetap DK PBB menggunakan hak veto untuk melindungi kepentingan nasional atau sekutu mereka, bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan konsensus internasional.
"Dan juga memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang terus mengejar tujuan mereka melalui upaya ekonomi, militer, dan kekuatan politik yang melanggar Piagam PBB dan UDHR," kata Gus Yahya.
Gus Yahya mencatat peran besar negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dalam membentuk tatanan internasional pascaperang. Ia menilai, kekuatan ekonomi, militer, dan politik negara-negara Barat menjadi pilar utama dalam mendukung tatanan tersebut.
Gus Yahya juga menyebut bahwa dunia saat ini mengalami pergeseran ke arah multi-kutub, di mana kekuatan Barat mengalami kemunduran.
"Namun, ketika negara-negara lain memanfaatkan peluang yang diberikan oleh keterbukaan, keamanan, dan stabilitas sistem internasional pascaperang, kekuatan Barat yang tadinya hegemonik kini mengalami kemunduran, dan dunia multi-kutub pun mulai muncul," paparnya.
Hal ini dianggapnya sebagai momen berbahaya dalam sejarah dunia, terutama karena adanya potensi penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.
"Di tengah dunia yang semakin multi-kutub, kekuatan Barat dan budaya Barat saja tidak cukup untuk mempertahankan, apalagi menguatkan dan meningkatkan, tatanan internasional berbasis aturan yang didedikasikan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia," jelas dia.
"Yang menjadikan situasi ini semakin berbahaya adalah penyalahgunaan kekuatan politik, militer, dan budaya Barat untuk menerapkan standar ganda, sambil mengklaim menegakkan konsensus internasional pascaperang, sehingga melemahkan kredibilitas Barat di mata negara-negara Global South," terangnya.
Dengan adanya berbagai kemungkinan ini, di satu sisi, Gus Yahya meyakini bahwa masih ada harapan untuk mengatasi tantangan tersebut. Ia memandang bahwa kerja sama antarumat manusia dari berbagai agama dan negara dapat menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan global.
Gus Yahya mendorong untuk menyelaraskan ajaran agama dengan konsensus internasional pasca-Perang Dunia II dan memobilisasi komunitas masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil dan harmonis dengan menghormati persamaan hak dan martabat setiap individu.
"Salah satu langkah penting adalah menyelaraskan ajaran agama kita dengan konsensus internasional yang muncul setelah Perang Dunia Kedua dan memobilisasi komunitas kita masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang didasarkan pada penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat," pungkasnya.
(dvs/lus)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa