Nabi SAW melalui sabdanya memperingatkan kaum muslim untuk memilih kawan dalam bergaul. Orang seperti apa yang sebaiknya dijadikan teman?
Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub melalui Kitabul-Aadab melampirkan riwayat Abu Hurairah sebagai hadits dalam memilih teman bergaul. Yang mana pada di dalamnya Rasulullah SAW menuturkan:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya: "Seseorang itu tergantung agama temannya, maka perhatikanlah siapa yang menjadi teman kalian." (HR Ahmad [8212], Tirmidzi [2387], & Abu Dawud [4833])
Dijelaskan, riwayat di atas bermakna bahwa tiap-tiap manusia tergantung siapa temannya, mulai dari kebiasaan hingga cara hidupnya. Untuk itu, Nabi SAW melalui sabda tersebut menganjurkan umatnya supaya memikirkan terlebih dahulu siapa yang dapat mereka jadikan teman.
Adapun agama dan akhlak menjadi kriteria yang mesti dipertimbangkan dalam menentukan teman. Fuad Asy-Syalhub mengemukakan, "Orang yang diridhainya baik agama dan akhlaknya, jadikanlah dia sebagai teman. Orang yang agama dan akhlaknya tidak diridhai, jauhkanlah. Karena sifat tabi'at adalah barang yang dicuri. Sebagaimana yang dikatakan dalam Aun Al-Ma'bud (Syarah Sunan Abu Dawud)."
Alasan pelarangan berteman bersama orang yang agama dan akhlaknya tidak diridhai, mencakup juga tidak diperbolehkannya menjadikan pelaku dosa besar dan kejahatan sebagai teman. Larangan berteman ini terlebih berlaku bagi orang kafir dan munafik.
Hal ini lantaran mereka telah mengerjakan apa yang dicegah dan diharamkan oleh Allah SWT. Sehingga bila muslim berteman dengan mereka, dikhawatirkan akan membahayakan agama dan keyakinannya sendiri.
Perumpamaan Berteman dengan Orang Sholeh dan Orang Jahat
Masih dari Kitabul-Aadab, menjadikan orang buruk nan jahat sebagai teman begitu berisiko dan berbahaya, sampai-sampai melalui sabdanya Nabi SAW memberikan analogi mengenainya.
Diriwayatkan Abu Musa Al-Asy'ari bahwa Rasul SAW mengatakan:
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيثَةً
Artinya: "Perumpamaan berteman dengan orang sholeh dan berteman dengan orang jahat adalah seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak wangi kadang memberikan minyak wanginya kepadamu atau kamu membeli minyak itu darinya, atau kamu mencium aroma harum darinya. Tetapi peniup dapur tukang besi mungkin dia akan membakar bajumu atau kamu mencium aroma yang tidak sedap darinya." (HR Al- Bukhari [5534], Muslim [2628], & Ahmad [19163])
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali dalam Syarah Riyadhush Shalihin menerangkan maksud dari hadits perumpaan di atas. Menurutnya, "Larangan berteman dengan orang jahat dan pelaku keburukan, sebab berteman dengan mereka akan berakibat buruk dalam agama maupun dunia."
Lebih lanjut Syaikh Salim mengemukakan bahwa riwayat tersebut merupakan anjuran bagi umat Islam untuk berkawan dengan orang sholeh. Di mana Nabi SAW memberikan perumpamaan bagi teman yang sholeh akan memberikan minyak misk (kesturi) kepada seorang sahabatnya, dan ini menunjukkan bahwa orang sholeh itu suci. Berbeda dengan orang jahat dan buruk.
(dvs/dvs)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
Indonesia Konsisten Jadi Negara Paling Rajin Beribadah