Menahan Nafsu (Lapar)

Kolom Hikmah

Menahan Nafsu (Lapar)

Aunur Rofiq - detikHikmah
Jumat, 07 Apr 2023 08:00 WIB
Sekretaris Majelis Pakar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aunur Rofiq
Foto: PPP
Jakarta -

Rasa lapar dijadikan oleh Allah Swt. sebagai ujian bagi manusia. Rasa lapar merupakan pengalaman keagamaan yang dapat meningkat spiritual seseorang. Al-Qur'an dalam Surah al-Baqarah ayat 155 menyebutkan bahwa rasa takut dan rasa lapar dijadikan sebagai ujian kesabaran bagi manusia. Arti ayat tersebut di atas, "Kami menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan rasa lapar... Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar,"

Begitulah Allah Swt. memberikan kabar gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran mereka dalam menanggung lapar.

Ujian merupakan sarana bagi seorang hamba untuk naik tingkat, adakalanya diuji dengan kesenangan dan adakalanya diuji dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya surah an-Nahl ayat 112 yang artinya, "Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anas bin Malik mengatakan bahwa Fathimah r.a. memberikan sepotong roti kepada Ayahnya, beliau bertanya, " Apa ini, wahai Fathimah? Kemudian dijawabnya, "Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak bisa tenang sebelum saya memberikan roti ini kepada Ayah." Beliau menjawab, "Ini adalah sepotong makanan pertama yang memasuki mulut ayahmu sejak tiga hari ini."


Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Sufi dan menjadi salah satu tiang mujahadah. Para Sufi ini membiasakan lapar dan menahan diri dari makan, mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar.

ADVERTISEMENT

Dikisahkan Sahl bin 'Abdallah hanya makan setiap lima belas hari. Ketika masuk bulan Ramadhan, dia tidak makan sampai dia melihat bulan baru ( malam Hari Raya ), dan setiap kali berbuka dia hanya minum air saja. Kemudian Sahl berkomentar, "Ketika Allah Swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan minum, dan menempatkan kebijaksanaan dalam lapar." Setiap kali dia menderita lapar, dia tetap tegar, dan setiap kali makan, dia menjadi lemah. Sahal ditanya, "Bagaimana pendapatmu tentang orang yang makan sekali sehari?" Dia menjawab, "Itu adalah makannya orang beriman." Lanjut ditanyakan, "Bagaimana dengan orang yang makan tiga kali sehari ?" Sahal mencela, "Suruh saja orang membuat gentong makanan untukmu."

Yahya bin Mu'adz berkomentar, "Lapar adalah pelita, dan memenuhi perut adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api, tak akan padam sampai ia membakar pemiliknya." Dan Abu Utsman al-Maghribi mengatakan, " Orang yang mengabdi kepada Tuhan hanya makan tiap empat puluh hari, dan orang yang mengabdi pada Yang Abadi hanya makan tiap delapan puluh hari."

Syekh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, "Seseorang datang menjumpai salah seorang Syekh, dan ketika dia melihat beliau menangis, dia bertanya, "Mengapa Anda menangis?" Kemudian Syekh menjawab, "Aku lapar." Dia mencela, "Seorang seperti Anda ini, menangis karena lapar?" Syekh menjawab, "Diamlah, Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis."

Jika kita amati saat ini betapa mudahnya seseorang mendapatkan makanan yang beraneka rasa dan tentu merangsang selera. Bermacam-macam lomba memasak yang tentu semua itu untuk memanjakan lidah. Artinya saat ini ujian yang dihadapi orang beriman semakin komplek dan berat untuk menahan nafsu. Oleh sebab itu mengetahui dan menjalankan keutamaan lapar memerlukan kesabaran. Kadangkala kita lalai untuk menuju suatu tempat meski ditempuh dengan naik pesawat hanya semata untuk merasakan masakan tertentu. Maka hati-hatilah karena sumber nafsu syahwat itu ada pada isi perut.

Dikisahkan seorang ulama yang mempunyai keinginan makan roti dan telor dengan 70 kali pukulan. Dia adalah Abu Turab an-Nakhsyabi menuturkan, "Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali ini : ia ingin sekali makan roti dan telor ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Ketika aku masuk pada suatu kampung, seseorang bangkit dan memegang tanganku sambil berkata, 'Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu.' Lalu orang-orang disitu memukuliku sebanyak tujuh puluh kali. Ada seorang lelaki diantara mereka mengenaliku dan menyela, 'Ini adalah Abu Turab!" Mendengar itu mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan laki-laki itu mengajakku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan dan menjamu aku roti dan telor. Maka aku berkata pada diriku, 'Makanlah, setelah tujuh puluh kali pukulan!'

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan tentang puasa, ada dua yaitu :

1. Puasa syariat adalah menahan diri dari makan minum dan berhubungan badan pada siang hari. Puasa syariat ini terbatas waktu.

2. Puasa Tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang, sifat-sifat tercela, seperti ujub, sombong, bakhil dan lainnya secara lahirbatin dan siang malam. Jika dilanggar akan membatalkannya. Puasa ini selamanya, sepanjang usia.

Beberapa kisah di atas menjadikan kita menyadari makna lapar. Ujian ini tidaklah mudah bagi seseorang yang "mampu" namun, jika berhasil dengan sabar untuk menahan keinginannya ( lapar ) maka Allah Swt. akan memberikan pahala yang indah. Semoga Allah Swt. memberikan kekuatan agar bisa mengalahkan nafsu sehingga berhasil menahannya (lulus ujian).

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads