Kisah Penjual Jamu Keliling: Ketekunan Antar Sumiati ke Tanah Suci

Kisah Penjual Jamu Keliling: Ketekunan Antar Sumiati ke Tanah Suci

Mulia Budi - detikHikmah
Sabtu, 22 Nov 2025 17:00 WIB
Sumiati (65), penjual jamu tradisional di kawasan Pancoran, Jaksel.
Penjual jamu pergi umrah. Foto: Mulia Budi/detikcom
Jakarta -

Di usia 65 tahun, Sumiati seorang penjual jamu tradisional di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, masih berkeliling setiap hari membawa racikan jamu buatannya. Ia berjualan minuman herbal racikannya sendiri sejak tahun 1995.

"Dari tahun 1995 saya jualan, waktu itu masih narik jamu harga Rp 50. Anak-anak saya masih kecil," kenang Sumiati yang ditemui detikNews pada Sabtu (22/11/2025).

Berbeda dengan banyak penjual modern, Sumiati meracik jamunya secara manual, memarut rempah satu per satu tanpa bantuan blender. Jamu yang ia bawa pun beragam. "Kunir asem, kunyit tawar, temulawak, beras kencur, pahitan, sirih, rebusan kulit manggis sama daun sirsak. Lengkap," katanya sambil menunjukkan botol-botol racikannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

DilansirdetikNews, Selama hampir tiga dekade berjualan, jumlah pelanggan Sumiati semakin bertambah. Meski usianya menua, ia merasa bersyukur karena ketekunannya berjualan jamu keliling telah membawanya pada satu pencapaian besar yaitu bisa berangkat umrah tahun lalu.

ADVERTISEMENT

"Alhamdulillah saya sudah bisa umrah. Tahun kemarin setelah Lebaran," ujar perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah itu.

"Walaupun saya sebatang kara di kampung, nggak ada yang mengantar, saya niat. Kalau niatnya baik, Allah jaga," jelasnya.

Selain berkeliling, Sumiati juga memiliki beberapa titik mangkal, seperti di kawasan NTMC Polri dan di belakang sebuah bank di Pancoran. Namun sebagian besar waktunya tetap ia habiskan untuk berkeliling.

"Saya biasanya ngetem di KKB, Bank Bukopin, dari jam 8 sampai 9.30 pagi. Lalu ke NTMC Polri setengah jam sampai satu jam. Setelah itu pulang karena biasanya sudah habis. Lebih sering keliling sebenarnya," jelasnya.

Harga jamu racikannya pun sangat terjangkau. Segelas jamu hanya Rp 5.000, sedangkan yang di botol dijual Rp 10.000. Bahkan, untuk pembeli yang tak punya uang cukup, Sumiati tak ragu menurunkan harga.

"Kalau orang nggak punya uang ya Rp 3.000 juga nggak apa-apa. Namanya manusia harus saling tolong-menolong," ucapnya tulus.

Baru dua bulan terakhir Sumiati menggunakan gerobak untuk berjualan. Sebelumnya, ia membawa jamu dengan cara digendong.

"Biasanya saya gendong. Ini baru dua bulan pakai gerobak," katanya sambil tersenyum.

Di tengah hiruk pikuk kota besar, kisah Sumiati menjadi potret tentang ketekunan, kejujuran, dan semangat tak kenal usia. Dari racikan jamu yang sederhana, ia membuktikan bahwa kerja keras yang dilakukan dengan niat baik selalu membuka jalan menuju berkah.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads