Sekjen MUI: BPKH Harus Terpisah dari BPH agar Tidak Terjadi Conflict of Interest

Sekjen MUI: BPKH Harus Terpisah dari BPH agar Tidak Terjadi Conflict of Interest

Indah Fitrah - detikHikmah
Minggu, 10 Agu 2025 10:00 WIB
Sekjen MUI Dr Amirsyah Tambunan, M.A.
Sekjen MUI Dr Amirsyah Tambunan, M.A. Foto: Tangkapan Layar tvMu
Jakarta -

Majelis Ulama Indonesia turut menanggapi wacana peleburan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ke dalam (Badan Penyelenggara Haji) BPH sebagai tindak lanjut transisi penyelenggaraan ibadah haji dari Kementerian Agama kepada BPH.

Dalam diskusi bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Pusat Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A menjelaskan latar belakang dibentuknya BPKH sebagai lembaga yang independen. Pasalnya, hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi conflict of interest.

"Lahirnya BPKH ada latar belakang, dahulu ketika disatukan pengelola keuangan dan penyelenggara terjadi conflict of interest dalam penggunaan biaya. Kalau terpisah akan terjadi checks and balances, saling kontrol dalam soal pembiayaan," ujarnya dalam sesi diskusi bertajuk "Menjaga Independensi BPKH" yang ditayangkan secara live streaming di kanal YouTube tvMu Channel pada Sabtu, 9 Agustus 2025.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, Amirsyah menjelaskan bahwa pengelolaan dana haji tersebut bernaung dalam fatwa MUI bernama "wakalah bil ujrah" yang artinya wakil jamaah haji yaitu pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah diberi amanah untuk mengelola.

Amirsyah mengingatkan bahwa dana yang dikelola oleh BPKH adalah titipan umat yang harus dikelola secara profesional, akuntabel dan transparan.

ADVERTISEMENT

"Jadi, dana itu belum milik pemerintah, belum milik siapa-siapa, tapi miliki calon jamaah. Nah, karena milik jamaah haji, titipan calon jamaah haji ini harus dikelola secara profesional, akuntabel, dan transparan," tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Amirsyah juga menjelaskan bahwa dana yang dikelola oleh BPKH sekitar Rp 176 triliun pada tahun 2024 lalu, dan pada 2025 saat ini mencapai Rp 180 triliun. Dana tersebut kemudian diinvestasikan dalam bentuk SUKUK surat berharga syariah yang sebagian dari hasilnya dipergunakan sebagai tambahan untuk menutupi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya.

Terkait hal tersebut, ia menegaskan bahwa dana tambahan biaya haji bukanlah subsidi dari pemerintah, melainkan hasil investasi dari dana umat itu sendiri.

"Jadi saya kurang sepakat disebut subsidi, sebab ini dana calon jamaah haji yang akan berangkat yang diinvestasikan, yang kemudian untungnya ditambahkan untuk biaya keberangkatan jamaah haji yang hampir setiap tahun berjumlah 221.000 orang," pungkasnya.




(inf/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads