Komersialisasi Aset Wakaf

Kolom Hikmah

Komersialisasi Aset Wakaf

Tatang Astarudin, Penulis Kolom - detikHikmah
Senin, 17 Nov 2025 19:15 WIB
Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Tatang Astarudin
Foto: Dok Tatang Astarudin
Jakarta -

Beberapa hari terakhir ini, media mewartakan pernyataan Menteri ATR/BPN soal kemungkinan komersialisasi tanah wakaf. Sebagian kalangan melihatnya sebagai langkah modern. Sebagian lain merasa gelisah. Pertanyaanpun muncul, apakah ini inovasi atau gejala disorientasi?

Saya mengapresiasi niat baik Menteri ATR/BPN bahwa komersialisasi dalam arti memproduktifkan tanah wakaf adalah keniscayaan. Di beberapa negara bahkan ada yang membagi wakaf pada kategori wakaf sosial dan wakaf komersial, yang memiliki makna yang hampir sama dengan wakaf produktif di Indonesia. Namun, komersialisasi aset wakaf harus dalam konteks menjaga kelangsungan manfaat terbaik (al-mashlahah ar-rajihah) aset wakaf sesuai peruntukannya.

Wakaf itu wajib produktif. Ada konsekuensi teologis dan yuridis bagi para nazhir, jika wakaf terbengkalai. Tapi produktif tidak harus selalu diukur dengan "uang". Di negeri ini, istilah "komersialisasi" mempunyai bunyi yang sedikit mengganggu di telinga awam. Seakan ia datang dengan wajah rasional, tapi membawa racun halus di baliknya yang mengajarkan bahwa semua hal baik harus menghasilkan uang, semua niat harus dinilai dengan logika laba.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat niat mulia mulai diukur dengan angka, ada yang retak dalam kepercayaan. Kalau yang suci dikalkulasi, perlahan ia akan kehilangan makna. Prinsipnya sederhana, yakni wakaf boleh tumbuh, tapi jangan lupa akar niatnya, yakni kemaslahatan. Satu hal yang tidak boleh berubah, yaitu keabadian manfaatnya.

Mengapa terkadang kita sulit percaya bahwa keberkahan dapat berdiri sendiri tanpa perlu dihitung? Mungkin karena kita hidup di dunia yang menuhankan angka. Padahal banyak hal paling berharga yang justru tidak bisa diukur. Rasa tenang, keikhlasan, kepercayaan. Semua itu tak punya nilai pasar, tapi tanpa itu, masyarakat akan runtuh dari dalam.

ADVERTISEMENT

Mungkin kita memang terlalu terburu-buru ingin terlihat modern. Ingin menunjukkan bahwa wakaf bisa produktif. Tapi di tengah semangat itu, jangan sampai kita kehilangan napas spiritualnya. Wakaf bukan hanya urusan aset, melainkan urusan batin. Tentang kepercayaan dan tanggung jawab menjaga niat baik, agar tak diselewengkan oleh godaan kalkulasi laba.

Dalam Islam, wakaf adalah ekspresi cinta dalam bentuknya yang paling halus dan tenang. Ia tidak berteriak, tidak mencari tepuk tangan. Ia bergerak dalam hening, bekerja diam-diam, menumbuhkan manfaat bahkan setelah sang pemberi tiada. Pada zaman yang serba cepat ini, ajaran wakaf terasa semakin relevan. Ia mengajarkan kita untuk berhenti sebentar, untuk tidak terburu-buru menukar nilai dengan harga, untuk percaya bahwa ada manfaat yang tak kasat mata, tapi nyata.

Wakaf menolak cara pikir transaksional, dan mungkin di situlah letak keindahannya. Ia mengingatkan bahwa memberi bisa jadi bentuk paling indah dari perlawanan terhadap keserakahan. Oleh karena itu, yang harus kita jaga bukan hanya tanah wakafnya, tapi makna di baliknya. Ia bukan semata ruang ekonomi, ia juga ruang spiritual dan ruang sosial. Ruang tempat manusia belajar memberi tanpa pamrih. Kalau makna itu hilang, maka seluruh hasil pembangunan yang kita banggakan akan kehilangan akarnya.

Kadang kita lupa, tanah bukan semata hamparan kosong di peta. Ia punya napas. Ia menyerap keringat yang pernah menetes, mendengar doa-doa yang pernah dipanjatkan, merasakan getar langkah-langkah yang pernah menjejaknya, dan kisah lain yang tak akan selesai diceritakan. Dalam wakaf, tanah bukan sekadar aset. Ia jadi ruang untuk melepaskan sebagian diri kita, supaya hidup dalam bentuk lain, yakni memberi manfaat bagi orang lain. Ada sesuatu yang lembut tapi kuat di sana, niat baik yang ditanam dalam diam.

Saya mengerti, banyak pihak dengan basis informasi dan teori masing-masing, tidak "sabar" melihat banyak tanah wakaf yang diberitakan terbengkalai, sehingga mendesak agar wakaf dikelola dengan cara baru agar lebih produktif. Padahal upaya memproduktifkan aset wakaf tidak semudah membalikkan tangan, dan tidak bijak jika tudingan selalu diarahkan kepada para nazhir atau otoritas wakaf.

Selain masalah kompetensi nazhir, ada beberapa kendala dilematis yang dihadapi, antara lain soal pembiayaan dan penjaminan. Proyek optimalisasi tanah wakaf membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ketika ada investor yang berminat menanamkan modalnya, ada yang mensyaratkan tanah wakaf menjadi jaminan. Sementara regulasi wakaf melarangnya, karena tanah wakaf beresiko hilang ketika proyeknya gagal. Menuding regulasi terlalu kaku juga kurang tepat, karena begitulah cara peraturan bekerja, supaya tidak ada celah yang menyisakan risiko atas aset wakaf.

Idealnya adalah harus ada lembaga yang menyiapkan pembiayaan produktivitas aset wakaf dan/atau menjadi penjamin atas aset wakaf yang menjadi bagian dari proyek optimalisasi. Adanya lembaga penjamin aset wakaf tersebut, selain akan memperkuat kepercayaan investor juga menjadi jawaban atas kekhawatiran hilangnya aset wakaf.

Gerakan wakaf melalui uang dan gerakan wakaf uang dengan segala bentuk skemanya, juga dinilai dapat menjadi solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan optimalisasi tanah wakaf. Teknologi digital memberi peluang besar. Platform wakaf daring juga memudahkan partisipasi publik dalam berwakaf. Tapi pada akhirnya, semua kembali kepada kepercayaan publik (public trust).

Oleh karenanya perlu diperkuat sistem administrasi dan tata kelola wakaf agar lebih transparan dan profesional. Kata kuncinya adalah transformasi nazhir. Proses yang membutuhkan konsistensi dan kesabaran, tidak semudah membalikkan tangan.

Tatang Astarudin

Penulis adalah Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Ketua LSP BWI, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads