Alumni Puasa nantinya akan terbagi dua; Alumni Ramadhani dan Alumni Rabbani.
Alumni Ramadhani itu mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan dan merasakan perubahan hebat (perubahan menjadi lebih baik) di dalam dirinya, namun selepas Ramadhan lepas pula perubahan itu. Semua selesai seiring perginya bulan Ramadhan, kembali lagi pada kebiasaan lama.
Sementara alumni Rabbani itu mereka yang mengalami perubahan dahsyat sepanjang bulan Ramadhan dan tetap berada dalam perubahan terbaik itu meskipun Ramadhan sudah pergi meninggalkan dirinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita jenis alumni yang mana? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, karena ini pertanyaan kontemplatif.
Spirit Rabbani itu semacam God Consciousness. Yaitu kesadaran adanya sesuatu di dalam diri ini, sesuatu yang being, sesuatu yang spiritual, dan mengetahui adanya hubungan antara diri ini dengan alam sekitarnya walaupun tidak bisa menjelaskan hubungannya seperti apa.
God Consciousness adalah kesadaran bertuhan, dimana ia tak memerlukan seperangkat hukum karena rambu-rambu itu sudah melekat pada dirinya. Dimanapun ia berada, Tuhan bersamanya dan kebersamaannya dengan Tuhan membuatnya tunduk sehingga tak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkanNya. "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Al Hadid/ 4)
Untuk sampai pada titik kesadaran bertuhan kita perlu menapaki perjalanan ruhani. Dalam dunia tasawuf perjalanan ini disebut suluk. Sang pejalan disebut sΓ’lik. Prosesnya tidak bisa sebentar dan juga tidak ringan.
Perjalanan ruhani itu memang berat, Tuhan menyebutnya sebagai al-'Aqabah; sukar lagi mendaki, banyak orang tidak mau menempuh jalan ini karena faktor kesulitannya. Di dalam Al Quran Surat Al Balad ayat 12-18, Allah menggambarkan perjalanan berat ini dengan cara membebaskan budak, lalu berkhidmah pada pembebasan orang miskin atas derita kelaparan. Tidak cukup sampai di situ, kita juga diminta selalu menyuarakan kasih sayang kepada sesama makhluk.
Suluk Puasa ini merupakan salah satu jenis perjalanan ruhani yang efektif melatih kesadaran bertuhan yang salah satu pintu masuknya adalah merasakan lapar. Orang yang berpuasa diminta merasakan langsung "derita" itu, agar lapar yang dijalani dapat menghaluskan budinya.
Madrasah Ruhani
Selayaknya sebuah institusi pendidikan, berpuasa di bulan Ramadhan adalah satu dari sekian banyak materi yang diajarkan. Selain itu ada zakat fitrah, sebuah laku penyucian jiwa dengan memberikan sejumlah makanan pokok negeri kepada mustahik, di antaranya fakir miskin.
Lalu ada tadarus kitab suci, di mana kita tahu, al Quran, diturunkan pada bulan Ramadhan. Interaksi yang intens dengan al Quran di bulan Ramadhan ini menjanjikan syafa'at atau pertolongan khusus di hari kiamat nanti. Di dalam sabdanya, Rasulullah SAW mengatakan;
"Amalan puasa dan membaca Al-Qur'an akan memberi syafa'at bagi seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata: Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa'at kepadanya. Dan Al-Qur'an berkata: Aku menahannya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa'at kepadanya, maka keduanya pun diizinkan memberi syafa'at." (HR. Ahmad, Shahih At-Targhib: 1429)
Pendek kata, sebagaimana dikatakan Jalaludin Rahmat dalam bukunya, Madrasah Ruhaniah, puasa adalah madrasah yang mendidik kita untuk menajamkan mata batin kita agar kita dapat menembus tirai kegaiban. Puasa juga merupakan "akademi" yang melatih kita untuk menerbangkan ruhani kita agar bisa hinggap dalam pangkuan kasih sayang Tuhan. Di dalam puasa ada tafakur dan amal, ada refleksi dan aksi. Ada peribadatan dan perkhidmatan.
Penutup
Pembekalan dan latihan yang dilakukan selama sebulan akan terlihat hasilnya pada ujian sebenarnya yang ada pada sebelas bulan pasca Ramadhan. Durasi waktu yang berjumlah kurang lebih tiga puluh hari itu seharusnya telah menancapkan bekas bagi mereka yang menjalaninya.
Bukankah penelitian modern telah mengonfirmasi hal itu? Maxwell Maltz misalnya, seorang penulis buku laris Psycho-Cybernetics menyatakan, bahwa diperlukan minimal dua puluh satu hari untuk membentuk kebiasaan dan pola hidup baru.
Semoga seluruh perubahan terbaik yang kita peroleh di bulan suci ini akan terus membekas hingga akhir kehidupan yang kita jalani.
Ahmad Nurul Huda Haem
Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Da'wah PBNU
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!